“AKU tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah sesuatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’ Aku membaca setiap malam, berpikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”
Itulah Ungkapan Soekarno yang dicurahkannya kepada Cindy Adams dan selanjutnya dibukukan dengan judul:Â Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sekaligus pertanda betapa masalah politik di saat-saat itu menggerogoti jiwanya. Sepertinya Bung Karno tidak mampu menghadapi gelombang cacian dan makian dari bangsanya sendiri. Inilah awal senja kehidupan Bung Karno; berteman dengan sepi.
Menjelang kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden RI, Lembert J. Giebels, mantan anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda, menulis dalam bukunya: Pembantaian yang Ditutup-tutupi Peristiwa Fatal di sekitar Kejatuhan Bung Karno, terjemahan dari judul aslinya De Stille Genocide. De fatale gebeurtenissen rond de val de Indonesische President Soekarno.
Lembert menulis, “Dikelilingi oleh diplomat, jurnalis dan anggota staf Istana, Soekarno berlaku seakan akan ia masih tetap seorang kepala negara yang maha kuasa. Namun gambar-gambar televisi mengungkapkan bahwa Soekarno menyadari bahwa ia hanya memainkan peran sebagai Presiden. Pemirsa bisa melihat bagaimana Presiden secara demonstratif menandatangani surat surat di pangkuan sekretarisnya, dengan gelisah menghela asap rokoknya yang telah ia cabut dari kantong baju salah seorang yang berdiri dalam lingkaran itu…Dengan sebuah gerakan tangan tidak sabar Presiden menyuruh pergi Menteri Luar Negeri Adam Malik, tanpa memandangnya. Sesudah itu ia menanggalkan baju seragamnya dan sambil di sana membetulkan lukisan yang miring dan meniup debu yang tidak ada dari bajunya., dengan baju kemeja dan bretel yang tergantung lepas, ia tampak menghilang dari layar televisi.”
Beban psikologis, itulah sebenarnya yang dialami Soekarno di saat-saat kejatuhannya. Dia berjalan sendiri tanpa ada orang-orang yang ikut membantunya.
Hari Minggu siang, tanggal 21 Juni 1970 tersiar berita Presiden Pertama RI, Ir.Soekarno meninggal dunia. Bambang Widjanarko melukiskan bahwa suasana waktu itu bagaikan mendengar guntur menggelegar di tengah siang hari yang terang, masyarakat sangat terkejut dibuatnya.
Bung Karno meninggal karena kesehatannya semakin hari semakin menurun. Sejak awal 1965, penyakitnya sudah hampir menggerogoti tubuhnya. Hal ini terungkap dari pernyataan Amarzan Loebis, wartawan senior yang sangat aktif meliput peristiwa di lingkungan Istana waktu itu:
“Tetapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya (Soekarno) tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul dan madu Arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu dan tampaklah kakinya yang membengkak,” ujar Amarzan Loebis.
Inilah gambaran selintas saat-saat sepi Bung Karno. Majalah Tempo, edisi 26 Oktober 2003, hal.71 memberi perhatian besar terhadap Bung Karno: “…kesunyian seorang Bung Karno. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api; membuncah lalu hilang bersama malam. Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez: lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian.” []