KITA adalah orang matang, anak kita masih belum matang, mengapa yang matang perlu marah pada yang belum matang?
Kita sudah besar, mereka masih kecil, mengapakah orang yang sudah besar perlu marah pada orang masih kecil?
Kita adalah orang yang berpengalaman, anak-anak belum pernah melihat dunia. Mengapa harus paksakan anak-anak kita paham dan sejalan dengan pandangan kita?
Masih ingat teori ini?
Pernahkah terpikir mengapa dua orang yang sedang marah perlu menjerit satu sama lain walaupun duduk bersebelahan? Pernahkah terpikir mengapa dua orang yang saling menyayangi lebih suka ‘membisik’ satu sama lain walaupun duduk berjauhan, atau lewat telepon?
Marah dibalas marah, maka dua hati akan berjauhan, makin menjerit makin berjauhan. Oleh karena itu, hati memerlukan suara/nada yang kuat untuk menghubungkannya.
Bagi mereka yang kita sayang, dua hati adalah dekat, jadi tidak perlu untuk menjerit-jerit, hanya perlu ‘membisik’ sudah terasa dekat. Makin dibisik, makin terasa sayang.
Itulah keajaiban ciptaan Allah pada sistem badan manusia.
Persoalannya, jika kita ingin mendidik anak-anak kita, perlukah kita marah-marah padanya walaupun mereka berbuat salah?
Sekiranya menggunakan pendekatan marah-marah, tanyakan pada diri sendiri, maukah hati kita berjauhan dengan hati anak-anak kita?
Atau kita mendidik dengan ‘berbisik’, supaya mereka mengerti dan hati mereka dekat dengan kita?
Hubungan orangtua dengan anak-anak yang terbaik ialah anak-anak menganggap orangtuanya sebagai sahabat karib dengan penuh penghormatan tanpa rasa segan untuk menceritakan segala masalahnya. []
Sumber: ipfb