Oleh: Raidah Athirah
Kontributor Islampos, Penulis-Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Polandia
DALAM salah satu kesempatan mengisi diskusi di grup WhatsApp mengenai jilbab saya menceritakan kisah perjuangan para muslimah di sini, Polandia.
Dan kebanyakan adalah sister mualaf. Salah satu sister yang dekat dengan saya adalah Sister Cahaya.
Perjuangan dan keteguhannya memegang teguh identitas kadang membuat saya menangis terharu.
Saya tak henti-henti mengucap kalimat tahmid dan takbir.
Setelah ujian perihal mantan suaminya, ia masih terus berjuang dalam kondisi keluarga yang prihatin dan mencari pekerjaan dengan kondisi tetap berhijab.
Pekerjaan sebelumnya sebagai nanny (pengasuh) dengan kondisi berjilbab membuatnya tak lagi dipekerjakan.
Ia bercerita pernah suatu waktu ia datang ke rumah untuk menjaga seorang bayi umur 8 bulan, entah mengapa ibu si bayi mulai merasa keberatan dengan jilbabnya.
“Kenapa kau tidak melepas penutup kepala itu, kau kan seorang Polish (Orang Polandia)? ” begitu ibu si bayi mengeluhkan tentang jilbabnya.
“Maaf Pani, saya tidak bisa, saya seorang muslimah,” begitu teguh jawabannya dalam keadaan sulit sekalipun.
Saya pernah memberanikan diri bertanya, “Sister, mengapa kau tidak menutup kepala seperti turban agar tidak begitu nampak, mungkin dengan begitu mereka akan tetap mempekerjakanmu?”
“Tidak … Tidak, sampai akhir napas, jilbab ini akan selalu saya kenakan, Sister. Tak ada siapapun atau apapun yang bisa menggantikan hidayah yang telah Allah karuniakan ini,” jawabnya penuh keteguhan.
“Hidup ini sementara. Saya berdoa saya kembali menghadapNya dalam keadaan taat. Apa yang perlu saya khawatirkan, Sister?”
“Allahu Akbar … Allahu Akbar,” saya bertakbir dan memeluknya dengan haru.
Ini saudari mualaf yang teguh dengan jilbabnya. Yang tak goyah dalam jalan imannya. Izinkan saya bertanya kepada saudari yang diberi kemudahan dan kelapangan:
Apa yang menghalangimu berjilbab?
Apa yang memberatkanmu berjilbab?
Apa yang membuatmu enggan berjilbab?
***
Mari dengar apa yang hendak ia ucap saat saya kembali bertanya, “Lalu bagaimana sekarang kau menghidupi dirimu dan kedua orang tuamu?”
“Saya kerja jadi tukang bersih-bersih supaya tidak lepas jilbab. Tidak ada yang peduli atau keberatan dengan jilbab yang saya pakai. Saya lebih tenang dengan pekerjaan ini, Sister,” Ia mengucap kalimat di atas dengan binar bahagia.
Saya kembali mendekat dan memeluknya. Aisha yang tengah memperhatikan kami tiba-tiba sudah berdiri di depan dan ikut memeluknya. MashaAllah, putri saya pun bisa merasakan ketegaran saudari dari negeri Sang Paulus ini.
Sister ini bagi saya tak sekadar teman, melainkan ada ikatan yang erat dan kuat yakni ikatan aqidah. Dan darinya saya belajar arti keteguhan dalam ucapan maupun perbuatan dalam menunjukkan identitas.
Semoga Allah merahmatimu, Kochana. []
Polandia, 11 Desember 2016