SAAT itu, kita sedang berada dalam suasana tasyakur nikmat bersyukur bahwa genaplah usianya 5 tahun Yayasan Kesejahteraan di Sumatera Barat. Kalaulah tidak lantaran Karunia Ilahi tadinya, tidaklah terbayang sama sekali, bahwa kita akan dapat mencapai apa yang tercapai sampai sekarang ini, apabila kita ingat betapa besarnya kesulitan yang harus kita lalui.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamien …., inilah bukti yang nyata dari kebenaran Firman Ilahi itu:
“Dan Ingatlah juga, tatkala Tuhanmu memaklumkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-KU), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS.14, Ibrahim : 7).
Kalau hari itu kita memperingati 5 tahun usianya Yayasan Kesejahteraan, pada hakekatnya amalnya sudah lebih tua dari usianya sendiri, yaitu beberapa tahun sebelum amal itu bernama Yayasan Kesejahteraan.
Titik tolak dari usaha ini berasal dari pertemuan pemimpin kita di Padang Sidempuan yang telah menggariskan suatu langkah untuk membangun kembali Sumatera Barat, yang baru saja keluar dari situasi pergolakan daerah dari luka-luka terkoyaknya perang saudara semasa rezim Soekarno, selam 31⁄2 tahun lamanya, banyak luka yang harus ditambal, banyak sakit yang harus diobati, banyak keruntuhan yang harus dibangun.
Langkah-langkah yang digariskan itu, adalah tersimpul kepada bagaimana menghadapi:
Penyaluran tenaga-tenaga terpelanting, baik ia rakyat pengungsi
yang kehilangan sumber hidup, maupun mahasiswa pelajar yang
terputus pelajarannya.
perumahan rakyat yang hangus terbakar
sumber ekonomi rakyat desa yang tertutup jalan
luka hati rakyat yang merasa kehilangan tempat mengadu kehancuran pendidikan agama.
Nopember 1961, terjadi lagi satu pertemuan di Medan, yang dipelopori oleh Bapak Mohamad Natsir, Brigjen A.Thalib, Dr. Darwis, Mawardi Noor; dan dari pertemuan itu keluarlah satu pandangan yang sama, bahwa untuk membangun kembali Sumatera Barat waktu itu haruslah dengan menggerakkan anak kemenakan putera- putera Minang dan daerah yang bertebaran diperantauan dan sebagai wadahnya diambilah kebijaksanaan membentuk yayasan yang bernama Yayasan Tunas Harapan, kemudian berubah menjadi Yayasan Harapan Umat, yang diketuai oleh Mr. Ezziddin. Dalam pada itu, sebagian di antara keluarga Qurba yang sudah bertekad pula untuk tinggal di daerah Sumatera Barat dengan segala akibat yang harus dilalui.
Para pemimpin umat itu, berusaha dengan sepenuh hati menurut kemampuan yang ada, sesuai dengan kondisi dan situasi yang sedang dialami pada waktu itu. Dengan bantuan dari keluarga Bulan Bintang dan perantauan Pekanbaru, Medan, Padang Sidempuan dan Jakarta, Saudara Syarifah Dinar dan Asma Malim telah berhasil menghimpun bingkisan-bingkisan mawaddah fil qurba berupa kain, pakaian dan uang, bingkisan mana langsung diantarkan kepada para keluarga korban perjuangan dibeberapa tempat yang dapat dicapai di Sumatera Barat.
Terjalinlah kembali ta’ziyah fil qurba dengan surat pengantar Bapak Mohamad Natsir. Dengan pedoman yang telah digariskan secara terperinci oleh Bapak Mohamad Natsir untuk memulihkan tenaga-tenaga terpelanting dan menumpahkan perhatian terhadap puluhan ribu rumah yang terbakar hangus akibat pergolakan, maka amal-amal nyata yang telah mulai digerakkan itu, dilanjutkan ke arah mencarikan lapangan pekerjaan bagi tenaga-tenaga terpelanting tersebut, menurut bakat dan kemampuan mereka masing-masing. Pada umumnya usaha ini menemui berbagai kesulitan, karena psikologis masih diliputi oleh rasa takut dan alasan untuk menjaga keamanan yang bersangkutan. Namun demikian, dalam jumlah yang sangat sedikit, dapat juga berhasil.
Hasil ini pada umumnya adalah karena “faktor hubungan” keluarga dan famili antara yang “menerima” dan menampung dengan yang “memberi” kan tenaganya (yang ditampung). Didorong oleh rasa tanggung jawab terhadap kampung halaman yang baru saja keluar dari kancah pergolakkan, PRRI maka seluruh putera-putera yang benar-benar cinta kepada kampung halaman negerinya, pastilah ingin turun tangan untuk membangun kembali kampung halamannya (negerinya) itu.
Usaha-usaha ke arah itu dengan menumbuhkan perhatian dan menggerakkan perantau-perantau guna menyalurkan bantuannya untuk mendorong kembali kehidupan rakyat, menghubungi mereka serta memanggil hati mereka, dalam berusaha membangun kampung dan negeri dari tanah perantauan. Lebih jauh yang diniatkan adalah timbulnya “percaya diri” (self confidence) dalam arti strategi yang menyatu yaitu “strategi harga diri” yang lebih sering disebut oleh Pak Natsir dengan izzatun nafsi sebagai buah nyata dari pandangan hidup tauhid (Tauhidic Weltanschaung).
Dalam melanjutkan usaha itu, Bapak Mohamad Natsir terus menerus membekali dengan pedoman dan petunjuk-petunjuk yang digoreskan walau dari dalam karantina politik dari rezim “orde lama”.
Begitu pula dengan pemimpin-pemimpin lainnya seperti Bapak Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Duski Samad, dan lain-lainnya.
Ide membangun dari rantau yang diketengahkan Bapak Mohamad Natsir disambut baik, tidak hanya oleh para dermawan, dengan menyanggupi untuk membantu melapangkan jalan dalam usaha-usaha yang tengah dilakukan.
Idea lebih mendasar bahwa dalam “mencapai kemakmuran rakyat banyak ditentukan kepada kerajinan tangan dan usaha rumah tangga”, memulai dengan program sederhana seperti perindustrian tikar mendong ataupun persuteraan melalui beberapa program latihan dan pengenalan, waktu itu tahun 1962.
Di awal tahun 1963, selesai masa pelajaran-pelajaran beberapa tenaga pulang ke kampung masing-masing, dengan dibekali amanat supaya kepandaian praktis yang telah diperdapat itu, hendaklah dimanfaatkan untuk diri dan untuk masyarakat kala itu Bapak Mohamad Natsir sudah pindah ke Batu, Malang.
Merencana sambil tasyakur nikmat atas bebasnya Ibu Hajjah Rahmah El Yunusiyah di Padang Panjang dari karantina politik orde lama, telah mempertemukan teman, guru dan bekas murid dan membuahkan kesepakatan bahwa ilmu pengetahuan praktis yang telah didapat di Jawa Barat yakni sutera alam dan tikar mendong harus diperkembangkan pula di Sumatera Barat.
Gerakannya perlu dilaksanakan melalui kursus dan latihan. Latihan pertama dilakukan pada tanggal 15 April sampai dengan 15 Mei 1963 di Balingka, dengan diikuti oleh 20 orang ibu-ibu Muslimah.
Bayangan masa depan yang menyeruak penuh harapan di antara tekanan diktator yang dikendalikan oleh PKI telah merayap
dari sudut ke sudut hati setiap peserta, walaupun juga barangkali dirasakan, bahwa di antara hal-hal itu ada yang demikian barunya sehingga sukar, malah rasa-rasa tak mungkin dapat mencapainya.
Semboyan kita ialah :
– Yang mudah sudah dikerjakan orang
– Yang sukar kita kerjakan sekarang
– Yang tak mungkin kita kerjakan besok
– Dengan mengharapkan hidayat Ilahi
“Katakanlah: Wahai kaumku, berbuatlah kamu sehabis-habis kemampuan-mu, akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah diantara kita yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan”. (QS.6, Al An’am : 135).
Itulah bunyi semboyan yang menjadi pesan Bapak Mohamad Natsirdalam pedoman pemulihan tenaga terpelanting, sedari dulu di pertengahan November 1961.
Usaha-usaha mempelajari pengetahuan praktis itu, tidaklah hanya dicukupkan dengan apa yang telah dilakukan oleh rombongan pria, akan tetapi merasakan pula pentingnya dipelajari oleh wanita- wanita dalam mempertinggi kesejahteraan hidup di rumah tangga.
Pemeliharaan hubungan kerjasama sesama keluarga seperti telah dilakukan oleh Djanamar Adjam dengan H.M. Miftah sekeluarga di Pasar Minggu pada November 1963, dalam memperkenalkan cara usaha pembibitan dan penanaman Tanaman Holtikultura.
Disamping itu juga dikembangkan pengetahuan penganyaman topi bambu di desa Cangkok Tangerang, umpamanya pula mempelajari penanaman padi dan jagung ke Lembaga Padi dan Jagung di Bogor terutama dikalangan “bundo kandung” kaum ibu penting pula dikembangkan melalui latihan-latihan praktis.
Pengenalan bibit harapan, penggunaan pupuk yang tepat, percobaan penanaman pertama, sampai kepada praktik pembibitan sayur mayur.
Dimulai dari penanaman bibit “bayam hikmat” (bapinas astunensis) yang dikirimkan dari wisma peristirahatan Ashhabul qafash, di tengah mana Bapak Mohamad Natsirditahan di Rumah Tahanan Militer di Jakarta.
Disemai dan ditanamkan pula di lingkungan keluarga.
Maka tidaklah salah, mungkin berkat kemurahan Ilahi, “bibit yang halus” yang disemaikan dengan baik, dipelihara dengan tekun dan sabar disertai pesan secarik kertas kecil dari balik dinding tahanan pada Desember 1963, “sesudah dipotong makin bercabang”, dirasakan nikmat oleh setiap keluarga yang menerima.
Sebagai amanat yang harus dipelihara dalam kerangka “bai’atul qurba’ itu. Dan seorang, keluarga Buya Haji Bakri Suleman di Pekanbaru mengungkapkan dengan penuh pengertian “kuunuu ..bayaaman..”, merupakan buhul yang kian saat makin erat untuk mengangkat amal-amal nyata yang lebih berat. []
Sumber: Dakwah Bangun Negeri oleh M. Natsir