Oleh: Dede Ahmad Permana
MENJAGA ‘kesyafiian’ di tengah masyarakat yang 99 persen bermazhab Maliki sungguh sangat mengesankan.
Aku pernah ditegur orang-orang sekeliling ketika sedang berwudlu, karena aku tidak ‘tadlik’ saat membasuh tangan. Tadlik adalah menggosok-gosok bagian tubuh yang menjadi anggota wudlu. Dalam mazhab Maliki, tadlik adalah rukun wudlu. Tidak sah wudlu tanpa tadlik.
Mendengar teguran mereka, aku hanya tersenyum. Kartu As langsung kukeluarkan. “Ana Andunisi, Syafi’iyyal Mazhab”. Saya orang Indonesia, bermazhab Syafii. Urusan pun selesai, mereka faham dan diam. Dalam mazhab Syafii, wudlu tetap sah meski dengan sekedar membasuhkan air ke anggota tubuh, tanpa harus tadlik alias gosok-gosok.
Pada kesempatan lain, aku pernah dibuat keki oleh orang-orang Tunis. Kala itu aku masuk sebuah masjid di kawasan Old Tunis sekitar pukul 13.00. Jemaah dzuhur yang dipimpin oleh imam tetap sudah bubar. Aku shalat berjama’ah berdua dengan seorang teman. Saat kami shalat, orang-orang yang ada di dalam masjid memandangiku. Beberapa di antara mereka saling berbisik. Saat masih shalat, aku sebenarnya sudah bisa menduga apa yang sedang mereka persoalkan. (Shalatku jadi tdk khusyu nih. Ampun Gusti, astaghfirullah).
Usai shalat, salah seorang di antara mereka menghampiriku, lalu menjelaskan bahwa seharusnya aku shalat sendirian, tidak usah lagi berjama’ah.
Ya, aku langsung faham. kemudian hendaknya shalat sendiri-sendiri saja. Makruh hukumnya menggelar shalat berjama’ah lagi. Bahkan ada pendapat dari ulama lain yang mengharamkan. Termasuk ulama besar sekaliber Imam Syatibi (w 790 H. Bahwa dalam mazhab Maliki, tidak boleh ada jema’ah kedua dalam satu masjid. Artinya, jika jema’ah yang dipimpin oleh imam tetap di masjid itu sudah bubar, maka jema’ah yang datang ) pun menyatakan hal ini.
Alasan utama pelarangan jama’ah kedua ini adalah sadz dzari’ah, yakni dalam rangka menghindari perpecahan di kalangan umat. Pemahamanku dari beberapa buku yang kubaca, bahwa dalam mazhab Maliki, upaya menjaga ukhuwah dan toleransi kadang bisa mengalahkan fadhilah (keutamaan) sunnah.
Masih banyak lagi kisah ringan lain, terkait hari-hari seorang “Syafii” di negeri Maliki.
Dan guna mengetahui seluk beluk fiqh Maliki, sejak awal tahun ini aku mengikuti pengajian (talaqqi) kitab Ar Risalah yang disampaikan oleh Syekh Sami an Nabli. Ar Risalah adalah salah satu kitab fiqh yang popular di kalangan Malikiyah, sehingga disyarah dan tahqiq oleh banyak ulama. Pengarangnya adalah Ibn Abi Zaid al Qairawani, seorang faqih yang wafat tahun 386 H. Karena keluasan ilmunya, imam al Qairawani dijuluki sebagai Imam Malik Muda (Malik as Shagir) oleh kaum Malikiyah.
Selain itu, secara bertahap aku juga membaca kitab al Fiqh al Maliki wa Adillatuhu (3 jilid), karya Syekh Habib bin Thahir, salah seorang ulama terkemuka Malikiyah di Tunis saat ini.
Mempelajari fiqh Maliki langsung dari para ulamanya, semoga menjadi bekal yang berharga bagiku, baik untuk menjalani hari-hariku saat ini, juga untuk bekalku di masa yang akan datang. Tanpa ‘menggeser’ kesyafi’ianku, insya Allah, karena itu adalah mazhab umat Islam di negeriku.