Oleh: Febrianti Almeera
SALAH satu ujian iman tertinggi adalah ketika diri tak menyadari posisi tertinggi hati, tak lagi Allah yang menghuni. Terkelabui oleh cinta yang katanya sejati, padahal hakikat kehadirannya hanya untuk menguji.
Bersibuk memantaskan diri karena jodoh, bukan lagi karena Allah.
Terbakar semangat menikah, tanpa menyadari niat berbelok, tak lagi untuk ibadah. Mulai gelisah menapaki pencarian, mengabaikan penguatan ketaatan dalam kesendirian.
Padahal ketahuilah, episode ‘sendiri’ itu Allah berikan sebagai sebuah kesempatan untuk mengeksplorasi kehidupan. Episode ‘sendiri’ juga merupakan kesempatan untuk memupuk ketaatan, sebagai bekal persiapan pulang. Ia bukanlah sebuah kutukan, sehingga dianggap pantas sebagai cibiran. Bukan.
Tenang saja, kalem, santai, semua sudah diatur. Diatur dengan sebaik-baiknya, dengan setepat-tepatnya.
Tak perlu gelisah, khawatir jadi salah arah. Tak perlu buru-buru, khawatir jalan tempuhnya keliru.
Jangan terbawa arus, meski di luar sana banyak sekali ‘kompor’ yang nyaris membuat hangus. Santai saja. Lagipula mereka di luar sana belum tentu ikut bertanggungjawab apabila diri salah niat. Kuatkan hati, sambil berbenah diri.
Tapi hati-hati. Jangan bersibuk memantaskan diri karena jodoh, bukan lagi karena Allah.
Sebab jika tujuannya demikian, sesungguhnya tanpa sadar kita telah membatasi karunia Allah. Jika Allah ridha, karunia yang diberikan-Nya bisa jauh lebih luas dari itu. Berbenahlah dengan ikhlas, demi menggapai kemuliaan dan kehidupan terbaik, dunia serta akhirat.
Ingatlah, kita akan diuji oleh sesuatu yang benar-benar kita cintai. Bisa jadi sebab Allah cemburu, hamba yang pada mulanya begitu mencintai-Nya, sedang lupa dan lalai tanpa sadar.
Maka doaku, doamu, dan doa siapapun yang setuju,
Berharap diri tak keliru menyandarkan harapan, pada yang tak seharusnya.
Berharap hati tak dilabuhkan, pada tempat yang tak semestinya.
Berharap Allah menggenggam segala rasa, yang tak perlu tercurah, bila belum saatnya.
Andai pun kelak dipertemukan, berharap kecintaan kepadanya, tak lebih tinggi dari kecintaan kepada-Nya. Sebab jika Allah tidak ridho, tentu tak sulit bagi-Nya mengambil kembali, apapun yang kita rasa sudah dimiliki. Maka, undang keridhoan-Nya, dengan tetap menempatkan Illahi Rabbi di posisi tertinggi hati. []