DUNIA seolah membutakan segalanya. Materi selalu menjadi ukuran sebuah kesuksesan. Yap, inilah zaman di mana harta dan dunia dianggap segalanya. Alangkah mirisnya ketika para pemangku amanah negara melakukan korupsi meski gajinya sudah puluhan bahkan ratusan juta. Fenomena ini tentu menyayat hati.
Seperti lirik lagu Bang Haji Rhoma Irama “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Inilah fenomena yang terjadi saat ini. Orang-orang menghalalkan cara untuk mendapatkan kenikmatan dunia.
Tidak peduli pengemis meminta dengan meronta, perampok, maupun mencuri uang rakyat, yang penting ia happy dengan melupakan dengan cara apa ia mendapatkannya. Ia lupa bahwa harta tak dibawa mati. Begitulah, jika sudah terlena oleh dunia. Naudzubillah.
Padahal Allah SWT berkali mengingatkan hambanya dalam surat Al Munafiqun:“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S Al Munafiqun: 9).
Lalu mengapa Allah SWT memperingatkan para hamba-Nya agar mereka tidak terlena dengan kenikmatan dunia berupa harta dan anak keturunan?
Karna Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa harta dan anak keturunan merupakan fitnah dan ujian bagi seorang hamba di dunia. Bagaimana mereka menyikapi kenikmatan yang mereka dapatkan tersebut, apakah dengan kenikmatan tersebut mereka lalai dari ketaatan kepada Allah ataukah malah mambantu mereka dalam menjalankan ketaatan? Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (Q.S At Taghabun: 15).
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya anak itu bisa menjadikan bakhil, pengecut, bodoh dan sedih.” (H.R Hakim dan At Thabrani).
Dari hadits diatas dapat disimpulkan ada empat sifat yang datang ujian keturunan karena terlena oleh dunia:
Pertama: Mubkhilah. Sifat yang dapat mendorong seseorang untuk menyimpan hartanya dan enggan untuk berinfaq.
Kedua: Mujbinah. Sifat yang menjadikan seseorang menjadi pengecut dalam menegakkan kebenaran dan takut akan keburukan yang menimpa dia dan anak keturunannya, sehingga dia acuh terhadap kebathilan.
Ketiga: Mujhilah. Sifat yang menyebabkan seseorang malas untuk menuntu ilmu, disebabkan kesibukannya terhadap urusan anak-anaknya.
Keempat: Mukhzinah. Sifat yang menjadikan seseorang merasa bersedih dengan musibah atau kesedihan yang menimpa anak-anaknya. Hal ini disebabkan karena besarnya rasa kasih sayang dia terhadap anak-anaknya. Terkadang kesediahn ini menjadi jelek jika seseorang berlarut-larut di dalamnya. []