Oleh: Juliana Fadhilah
julianafadhilah31@gmail.com
KEBANYAKAN orang sepakat bahwa kemiskinan merupakan ujian. Mau makan susah, uang jarang pegang, liburan kagak pernah. Intinya segala kekurangan selalu dikait-kaitkan dengan hidup serba susah. Merengkuh bahagia seperti merangkak di atas lumpur yang tiada bertepi jika dalam kondisi ini. Walau bekerja setiap hari untuk menghasilkan rupiah dilakukan dari terbit fajar hingga terbenam lagi, yang didapat tidak seberapa.
Sebongkah berlian mungkin hanya angan. Kadang menyalahkan nasib menjadi pilihan, namun tak barang sedikit menemu titik cerah akan hal itu. Ikhlas… ya, hanya ikhlas membuat luruh beban di pundak. Tak mungkin Sang Pencipta memberi hidup sedemikian rupa, jika kita tak mampu melaluinya.
Ya, kemiskinan bisa jadi salah satu jalan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah bagi orang-orang yang berpikiran terbuka. Tapi, apabila sisa hidup berkubang dalam sengsara, itu jelas karena kita yang salah. Ukuran bahagia sejatinya tidak bisa dinilai dari banyaknya rupiah dalam genggaman. Periksa batin masing-masing. Apakah syukur menyemai di sana? Ketenangan batin terkadang lebih menyukseskan seseorang berbahagia, dibanding limpahan harta. Bukankah ada banyak pemegang harta berjuta-juta, miliaran hingga triliun, namun hampa terasa hidupnya.
Di sini kita bukan sama-sama ingin jatuh miskin dengan perbandingan di atas. Hanya saja meniup angin segar, agar lebih banyak syukur bertandang bagi di antara kita yang kurang dari segi harta. Bukankah kita telah sama-sama sepakat bahwa kemiskinan merupakan ujian yang hanya dapat dilalui dengan keikhlasan? Dan dengan tidak melontarkan kata-kata perih sebab nasib yang disandangnya itu, kita telah membuat ia percaya diri dengan lukisan senyum di wajahnya. Setidaknya itulah bentuk menghargai. Walau ujian hidup menempa tidak sama, memang tidak akan pernah sama. Dari situ bisa terlihat bagaimana wujud asli masing-masing individu menyikapi hal ini. Kita mungkin tidak menggigit pahitnya, namun ikatan saudara sesama muslim tak lepas membuat kita ikut merasakan.
Lantas, bagaimana penyandang status gelimang harta? Itu pun sebenarnya ujian. Bahkan ujian yang lebih berat. Namun, tak sedikit dari kita terlena akan ujian hidup tersebut. Merasa segala tercukupi, rasanya aneh jika disebut ujian. Mungkin anugerah namanya. Mau makan mudah, uang sering pegang, liburan alias piknik tak alpa di akhir pekan. Itu sederet nikmat yang kadang kita lupa adalah ujian. Meneguk bahagia ditawarkan berbagai telaga dunia. Nah, di sini sebenarnya badai hebat menerpa. Kita cenderung menjadi jumawa. Mengangkat dagu katakanlah hal biasa. Maka menunduk dalam perkara dunia harus sering dilakukan, agar tak kadung terlena.
Tapi ya begitu, mungkin secara tak sadar. Kita justru acap kali berdalih, kenikmatan yang diberi jangan disia-siakan, selagi ada mengapa tak boleh berfoya? Toh ini hasil jerih payah sendiri. Didapat tak mudah. Butuh banyak pengorbanan.
Sebenarnya sah-sah saja kita memakainya untuk dibelanjakan. Mencuri itu yang dilarang. Namun, sebagaimana kita pun bukan milik kita. Apa yang kita miliki di dunia ini tidak sepenuhnya untuk sendiri. Ada jatah orang lain yang Allah titipkan melalui tangan-tangan kita. Berbahagialah misi tersebut diamanahkan-Nya. Ya, mungkin ini cara Ia agar meringankan hisabmu kelak. Karena menjadi orang kaya raya itu berat tanggungjawabnya, soal harta dipertanyakan kegunaannya.
Walau ujian menempa tidak sama. Semoga kita sama-sama lulus ujian dari-Nya. Aamiin. []
Kalijati, Juli 2017
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.