Oleh: Euis Kusmiati
HIDUP adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk menjadi seseorang yang terpuji atau tercela. Pilihan untuk menjadi seseorang yang besar atau kerdil. Hanya diri kita sendiri yang dapat menentukan dan hanya nurani yang dapat menunjukkan langkah kebenaran.
Untuk menjadi seseorang yang terpuji, bukanlah ketika ia hanya mampu menjunjung tinggi nama baiknya sendiri dan untuk menjadi seseorang yang besar. Bukanlah ketika ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Akan tetapi, untuk menjadi seseorang yang terpuji dan besar adalah ketika ia mampu menjunjung tinggi agama Allah dan memikirkan kebaikan untuk orang lain di atas kepentingan pribadi hanya karena Allah.
Pada hakikatnya, ada dua hal yang mana manusia tidak akan pernah puas untuk mendapatkannya, pertama adalah harta dan kedua adalah ilmu. Namun, alangkah indahnya apabila manusia bisa berbagi dengan kedua hal tersebut di jalan Allah.
Harta tidak akan habis selama dibelanjakan di jalan Allah untuk orang yang membutuhkan, dan ilmu pun tak akan pernah terhapus oleh zaman, bahkan termasuk sebuah amalan yang akan terus mengalir kepada diri kita hingga di akhirat kelak. Ketika seseorang menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain dan orang yang disampaikannya tersebut membagikan lagi kepada orang lain, maka pahala akan terus mengalir kepadanya begitulah seterusnya ibarat sebuah siklus.
Islam itu indah. Islam selalu mengajarkan umatNya untuk berbagi dengan sesama seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja, bahkan terhadap kaum kafir sekalipun. Islam tidak menyulitkan umatNya untuk berbuat mulia terhadap sesame, karena kebaikan itu sederhana.
Tidak selamanya berbagi itu harus dengan materi atau sesuatu yang mahal. Kita pun bisa berbagi dengan sesama melalui jasa dan hanya dengan senyuman saja, kita sudah melakukan kebaikan terhadap orang lain. Bahkan dikategorikan sebagai sedekah. Banyak atau tidaknya harta yang kita belanjakan di jalan Allah, terlihat atau tidaknya amalan kita oleh orang lain. Itu sama sekali tidak berarti karena yang terpenting adalah keikhlasanmu untuk memberi terhadap sesama.
Keshalehan seseorang di mata Allah tidak hanya diukur dari seberapa rajinnya ibadah mahdah yang dilakukan. Akan tetapi, keshalehan seseorang pun diukur dari seberapa besar pedulinya dia terhadap sesama. Sungguh, keshalehan seseorang akan seperti buih ketika diangkat tidak ada apa-apanya apabila dia sudah tidak peduli terhadap sesama. Sungguh Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Abid yakni sahabat Nabi Musa seperti berikut:
Disebutkan dalam sebuah kisah, bahwa nabi Musa as. suatu ketika ingin menemui Tuhan dan berdialog dengan-Nya. Di tengah perjalanan, nabi Musa as. dicegat oleh seorang abid. Sang abid berkata kepada Musa as.
“Hai Musa mau kemana engkau?”
Nabi Musa menjawab, “Saya ingin menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya.”
Sang abid berkata, “Hai Musa! tolong nanti engkau katakan kepada Tuhan, bahwa di sana terdapat hamba-Nya yang sudah puluhan tahun menghabiskan umurnya beribadah kepada-Nya. Dia mengasingkan dirinya di sebuah goa dan menghindarkan manusia banyak demi hanya untuk beribadah kepada Tuhannya. Tanyakan kepada Tuhan, sorga yang mana yang pantas untuknya.”
Setelah nabi Musa as. menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya, maka Musa menyampaikan pesan sang abid tersebut. Setelah mendengarkan uraian Musa tentang abid itu, maka Allah swt mengatakan bahwa tempatnya adalah neraka.
Nabi Musa as. kemudian pulang dan ditengah perjalannya, kembali bertemu dengan sang abid. Nabi Musa as memberitahukan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya, bahwa dia akan masuk neraka. Sang abid kemudian, berfikir bagaimana mungkin dia bisa masuk neraka dengan kesalehan yang dinilainya sangat tinggi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kelak nasib orang-orang yang tidak pernah beribadah kepada Tuhan.
Sang abid kemudian berkata kepada Musa, “Hai Musa! besok jika engkau kembali menemui Tuhan, tolong katakan kepada-Nya; jika saya mesti masuk neraka, maka tolong jadikan tubuhku ini sebesar-besarnya hingga menutupi pintu neraka sehingga tidak ada manusia lain yang bisa memasukinya. Jika saya harus masuk neraka, biarlah saya sendiri saja yang menjadi wakil semua manusia yang akan masuk neraka.
“Nabi Musa as kemudian datang lagi menemui Tuhan dan menanyakan kembali tentang abid tersebut. Allah swt menjawab “Dia adalah penghuni sorga”.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa betapa kesalehan seseorang kepada Allah tidak menjadi jaminan dia menjadi penghuni surga, jika dia tidak memiliki hubungan yang baik dengan sesama. Sebab, dalam menjalankan kehidupan di dunia ini ada dua hal yang mesti dijaga oleh manusia; hubungan baik dengan Allah (habulum minallâh), dan hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannâs). Jika salah satunya tidak dijalankan manusia, maka tentu tujuan dan maksud penciptaanya tidak tercapai.
Alangkah indahnya, jika semua makhluk di dunia ini memiliki sikap peduli terhadap sesama. Saat orang lain terlelap, ia terbangun untuk mengadu kepada Rabb-Nya di sepertiga malam dan mendoakan orang lain melalui sujudnya. Saat orang lain terlena, ia masih gesit untuk memikirkan masalah ummat. Saat orang lain berjalan, ia berlari untuk bertempur menegakan agama Allah. Subhanallah.
Sebenarnya tidaklah sulit untuk melakukan kebaikan, semuanya berawal dari niat karena setiap amal tergantung kepada niat dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain bahkan Allah akan memudahkan urusan kita apabila kita membantu kesulitan orang lain. Seperti hadits berikut:
“Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu rumah (masjid) dari rumah-rumah Allah untuk membaca Al Qur’an dan saling mengajari di antara mereka, melainkan ketenangan akan turun kepada mereka, mereka akan diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya (untuk masuk surga), maka nasabnya (keturunannya) tidak akan bisa mempersegera dia (untuk masuk ke surga).” (HR. Muslim no. 2699)
Allah memiliki hak prerogatif untuk menjadikan seseorang menjadi mulia atau hina di hadapan-Nya. Mulia karena ia selalu siap dalam menolong sesama. Hina karena ia tidak peduli dengan sesama dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Bukanlah orang yang beriman yang ia sendiri kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.
Tanamlah biji atau bibit yang ada di tanganmu meskipun esok kiamat. Artinya, teruslah berbuat baik meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Teruslah berbuat baik meskipun perbuatan kita tidak terlihat oleh orang lain tetapi biarlah Allah yang menilainya. Seperti firman Allah:
Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS: At-Taubah Ayat: 105). Wallahu’alam bishawab. []