Oleh: Ahmad Yusuf Abdurrohman
SETIAP diri kita adalah pemimpin. Minimal, sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Ini, telah dijelaskan oleh Nabi kita tercinta; Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam ribuan tahun yang lalu.
Ibnu Umar Radhiyallahu anhu berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami, akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan, seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.” [1]
Menjadi seorang pemimpin itu berat. Karena, kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Jika dilalaikan, akan sangat besarlah akibatnya. Saat ini, ada banyak orang yang ingin menjadi pemimpin. Banyak upaya yang telah dilakukan mereka untuk meraih tampuk kepemimpinan. Bahkan, mereka rela mengorbankan waktu dan harta untuk meraih cita-cita yang diinginkan, dan tak jarang banyak yang menabrak koridor agama, tak mengenal halal ataupun haram. Sehingga, bukanlah tidak mungkin ketika mereka telah mencapai tampuk kepimpinan, mereka lupa akan janji-janjinya terhadap rakyat dan melakukan segala cara untuk mendapatkan balik modal dari usaha yang sudah dilakukan olehnya. Sangat berbeda sekali dengan para pemimpin terdahulu, yang selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya.
Ada sebuah kisah menarik yang terjadi pada zaman pemerintahan Khalifah Umar Ibnu Khattab. Beliau memilih seorang lelaki untuk menjadi wakilnya di wilayah Homs, sebuah kota yang berada di Syam; dialah Said Ibnu Amir. Tak berselang beberapa lama. Datanglah rombongan utusan dari Homs menghadap Amirul Mukminin; Umar Ibnu Al khattab. Lalu beliau berkata kepada para utusan, “Tulislah nama orang-orang fakir di Homs, agar aku bisa memberi mereka harta dari kaum muslimin untuk menyambung hidup”.
Setelah mendapatkan daftar orang fakir di Homs, Umar Ibnu Al Khattab melihat ada nama Said Ibnu Amir di dalamnya. Maka, Umar pun bertanya, “Siapakah Said Ibnu Amir ini?”
Mereka menjawab, “Pemimpin kami.”
“Pemimpin kalian fakir?” tanya Umar terkejut.
“Ya. Demi Allah, telah berlalu beberapa hari yang panjang. Namun, tidak dihidupkan api di rumahnya (keluarganya tidak memasak).”
Menangislah Umar Ibnu Al Khattab mendengar penuturan para utusan dari Homs tentang pemimpin mereka.
Umar lalu memasukkan seratus dinar ke dalam sebuah kantong lalu memberikannya kepada mereka. “Bawalah dinar-dinar ini kepadanya agar ia bisa mempergunakannya untuk keperluan pemimpin kalian hidup sehari-hari. Sesampainya di Homs, mereka memberikan kantong berisi uang dinar itu kepada pemimpin mereka; Said Ibnu Amir.
Seketika, dia berucap, ” Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun.”
Mendengar itu, istrinya bertanya, “Apakah yang terjadi? Apa Amirul Mukminin wafat?”
“Tidak, ini perkara yang lebih besar.”
“Dunia menghampiri untuk merusak akhiratku,” lanjutnya.
“Menjauhlah darinya,” ucap istrinya segera. Namun, istrinya tak mengetahui bahwa ini adalah masalah harta yang diberikan oleh Amirul Mukminin.
“Maukah kau membantuku menyelesaikan masalah ini?” pinta Said Ibnu Umar.
“Ya,” jawab istrinya. Mereka berdua akhirnya memberikan semua harta itu kepada fakir miskin di Homs. [2]
Dalam kisah itu, diceritakan begitu takutnya Said Ibnu Amir pada cobaan harta dan kepemimpinan. Sehingga ia dan istrinya segera membagikannya kepada orang lain meakipun sebenarnya dia juga membutuhkan harta untuk hidupnya. Karena, harta dan kepemimpinan adalah amanah besar yang kelak akan segera ditanyakan pertanggungjawabannya di akhirat oleh Allah. Maka, berhati-hatilah pada keduanya. Sangat jarang kita menemukan seorang pemimpin yang berjiwa seperti beliau saat ini. Maka, tak heran jika penulis mengatakan, ‘Inilah Pemimpin yang Dirindukan.’ []
Referensi:
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
[2] Diceritakan dalam kitab ‘Silsilah Ta’lim lughotil Arobiyyah jilid 2