SUATU hari Rasulullah SAW sedang bersama para sahabat. Sejenak beliau tepekur dengan wajah khawatir, tapi tak lama kemudian tertawa. Terheran, para sahabat pun bertanya, “Ya Rasulullah, ada apakah kiranya sehingga engkau tampak khawatir tetapi kemudian tertawa?”
Telah diperlihatkan padaku, ujar beliau sembari tersenyum, dua orang dari kalangan umatku yang bersengketa di hadapan Allah. Satu diantara mereka berkata, “Ya Rabbi, tegakkan keadilan di antara kami; dulu di dunia, saudaraku ini berlaku zalim dan keji!”
Sitergugat tertunduk malu, menangiskan sesal dan takut. Maka Allah pun memanggil sang penuntut dengan lembut dan berfirman padanya. “Wahai hamba-Ku, angkatlah kepalamu!” Maka sang penggugat menengadah dan melihat sebuah istana yang begitu indahnya. Dia terpesona. Istana itu terbuat dari permata dan marjan, dibingkai oleh emas, dihiasi mutiara. Maka dengan takjub ternganga, hamba itu bertanya.”Duh Rabbi, bagi nabi siapakah istana ini? Atau milik orang shiddiq yang mana ia? Atau kepunyaan pahlawan syahid zaman apa pula?”
Maka Allah berfirman, “Istana ini akan menjadi milik siapa saja yang menginginkan akan membayar harganya.” Penggugat itu terbelalak dan bertanya.
“Berapakah harganya, Ya Rabbi ? dengan apakah orang yang menginginkan akan membayarnya? Siapakah yang beruntung bisa memilikinya?”
Allah berfirman,”Adalah dirimu mampu membayar harganya. Jika kau memaafkan saudaramu itu, niscaya istana ini akan menjadi milikmu!”
Maka berteriaklah hamba itu gembira, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, Ya-Rabbi. Sungguh, kini aku telah memaafkan saudaraku ini!” Inilah sebagaimana firman Allah, “Dan Kami lenyapkan dari dlam dada mereka segala rasa dendam; sedang mereka bersaudara, duduk berhadapan di atas dipan-dipan. (QS. Al-Hijr: 47) Terkutip dari Syarh Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi. []
Sumber: Menyimak Kicau Merajut Makna/Salim A. Fillah/Pro-U Media