AKU merindu Ibu -perempuan berjantung kebijaksanaan, kesabaran dan pengabdian yang tak lelah mendegupnafaskan penghidupan bagi kami-anaknya. Sebab ibulah itu, pengasuh peradaban batin yang tak jarang menyembunyikan tangis agar anak-anaknya tetap tersenyum dalam menata masa depan yang lebih baik.
Aku merindu Ibu, ingat saat lisan kerap membantah, tingkah laku kerap dipenuhi kemalasan pada saat diperintah ini dan itu. Sempat terpikir mengapa Ibu begitu keras mendidikku, namun kini setelah dewasa aku mulai paham hakikat kerasnya hidup jauh lebih menyakitkan. Jika kemanjaan yang dahulu diberikan bagaimana mungkin aku mampu tangguh dalam menapaki terjalnya ujian penghidupan.
Aku merindu Ibu, setiap kupejam mata dan kubayangkan wajah Ibu yang semakin menua, tanpa kusadari air mataku yang gerimis seketika menderaskan hujan tangis. Maafkanlah anakmu, Ibu… mafkanlah anakmu, Ibu…. mafkanlah…. Sungguh telah melumpur dosaku padamu, begitu banyak kesusahan hidup yang telah engkau tanggung demi mengurus dan membesarkanku.
Aku merindu Ibu-sehebat apapun masa depanku, itu tak sebanding dengan kehebatan elusan jemarimu kala aku menangis, tak sehebat petuahmu yang engkau berikan kala jiwaku gelisah, tak sehebat senyummu yang menentramkan hatiku ketika berduka dan engkau berujar ‘semua akan baik-baik saja.’
Aku merindu Ibu-benarlah adanya jika ada yang bernasehat ‘jangan berbagi kesedihan dengan ibumu, sebab kesedihannya akan melebihi kesedihanmu meskipun dia tidak mengalami apa yang dirimu sedihkan.’ Baginya kebahagiaan anak-anaknya ialah tanggungjawab yang diamanahkan oleh Allah Subhana wa Ta’la dan mesti diwujudkan meski harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri. []