“KETIKA Masjidil Aqsa dibakar,” ujar Golda Meir, “aku tidak tidur semalam suntuk karena aku mengira bahwa bangsa Arab akan memasuki Palestina secara berbondong-bondong.”
Tapi Meir salah. Pagi harinya, ternyata tidak terjadi sesuatu. Tak ada orang Arab. Tak ada siapapun yang datang. Semuanya, buat Meir, baik-baik saja.
Meir membakar Masjid Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969.
“Itu hari terberat dalam pemerintahanku,” ungkap Meir, Perdana Menteri Israel keempat dan menjadi Perdana Menteri perempuan Israel pertama kalinya, “namun itu adalah hari termudah dalam pemerintahanku.”
Meir adalah salah satu dari ke-24 deklarator berdirinya negara Israel. “Itu adalah hari-hari yang kulalui pasca pembakaran (masjid Al-Aqsha) tersebut.”
Itu adalah hari Kamis. Hari yang begitu bersejarah. Itulah hari ketika salah satu kiblat pertama umat Islam itu dibakar. Ketika mimbar kebanggaan Sang Penakluk al-Quds, Sultan Shalahuddin, tak sempat lagi diselamatkan. Hangus bersama kobaran api yang melahap Masjid Umar, mihrab Zakariya, Maqam Arbain, tiga koridor masjid, dan kubah kayu bagian dalam masjid. 48 unit jendela masjid pun hancur berkeping-keping bersama ambruknya atap masjid. Dinding dan mihrab masjid langsung menderit hebat.
Api pertama kali dikobarkan oleh seorang zionis berkebangsaan Australia, Michael Dennis Rohan, dengan dibantu oleh orang-orang Yahudi lainnya.
Kobaran api pertama ini menandai proyek terpadu yahudisasi al-Aqsha dan Al Quds. Dari bawah digerogoti; puluhan galian dan terowongan Yahudi mengancam robohnya pondasi al-Aqsha. Di atas, gelegar jet-jet tempur Zionis dengan intensitas dahsyat suara memekakkannya selalu siap menggedor kekokohan bangunan masjid. Sementara di darat, serbuan gerombolan-gerombolan Zionis-Israel tak pernah mengenal kata henti. Berbagai rupa penodaan, penistaan, dan makar untuk menghancurleburkan al-Aqsha bertubi-tubi terus dilancarkan.
Golda Meir, ada di belakangnya, pertama kali. [dedih mulyadi/islampos]