SETIAP jemaah haji pasti mengharapkan ibadah haji mereka berjalan lancar tanpa ada halangan. Namun bagi Muslimah yang menunaikan haji, tentu ada peluang datang haid bulanan ketika berihram yang akan menghalangi ia untuk menunaikan thawaf sebagai bagian dari rukun haji. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
Saat Aisyah ra sedang haid, Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji, selain dair melakukan thawaf di Ka`bah hingga engkau suci.” (HR. Muttafaq a`laih).
Lalu, bagaimana jika Muslimah mengalami haid ketika melaksanakan ibadah haji?
Orang yang berthawaf harus bersih dari haid dan nifas. Ini merupakan syarat sah thawaf menurut sebagian besar ulama.
Berdasarkan pandangan ini, dalam Madzhab Syafii disebutkan, “Wanita haid yang belum melakukan thawaf ifadah harus bertahan di Makkah hingga suci. Kalau ada bahaya yang mengancam atau hendak pulang bersama rombongan sebelum thawaf ifadah, ia harus tetap dalam keadaan ihram hingga kembali ke Makkah untuk berthawaf walau beberapa tahun kemudian.” (Kitab Al-Majmu` juz 8, hal. 200).
Sementara menurut kalangan Hanafi, suci dalam thawaf hukumnya wajib. Karena itu, orang yang berthawaf dalam kondisi tidak suci seperti wanita yang sedang haid dan nifas, thawafnya sah, tetapi harus membayar dam (denda). Mereka berdalil dengan firman Allah SWT, “Hendaknya mereka melakukan thawaf di sekitar Ka`bah Baitullah itu.” (QS. Al-Hajj: 29).
Menurut kalangan Hanafi, ayat tersebut memerintahkan thawaf secara mutlak, tanpa dikaitkan dengan syarat kesucian.
Jika darah haidnya tidak keluar terus-menerus dan sempat berhenti untuk beberapa hari, pada masa itulah ia berthawaf. Ini sesuai dengan pandangan kalangan Syafi’iah yang menyatakan, “Kondisi bersih pada hari-hari terputusnya haid dianggap suci.”
Terakhir, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim berpendapat, “Thawaf ifadah wanita haid adalah sah jika memang kondisinya terpaksa, seperti ia harus pergi bersama rombongan untuk meninggalkan Makkah. Syaratnya, ia harus membalut tempat keluarnya darah.”
Lalu, bolehkah seorang Muslimah minum pil anti-haid agar ibadah hajinya tidak terganggu?
Mengenai hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keputusan Komisi Fatwa 12 Januari 1979 membahas singkat tentang penggunaan pil haid. Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai KH Syukri Ghozali memutuskan tiga hal terkait mengonsumsi pil haid.
Pertama, jika niatnya untuk menunaikan ibadah haji, hukumnya mubah atau boleh.
Kedua, jika penggunaan pil haid dengan maksud untuk menunaikan puasa Ramadhan, hukumnya makruh. Akan tetapi bagi Muslimah yang sukar mengqadha puasa pada hari lain maka hukumnya mubah.
Ketiga, jika niat penggunaan selain untuk dia ibadah di atas, hukumnya bergantung pada niatnya. MUI menegaskan, jika penggunaan pil haid untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hukum agama, maka hukumnya haram. []
Sumber: http://www.berhaji.com/fiqih-haji/haid-datang-saat-berhaji-bagamanakah-hukumnya