Oleh: Sri Bandiyah
sby_sr@yahoo.com
DULU, tepatnya saat kelas dua SMA aku adalah satusatunya siswi di sekolah yang membaca buku-buku pernikahan Salim A. Fillah.
Bisa dikatakan, aku termasuk korban provokasi nikah dini. Korban dalam arti positif tentunya, karena setelah membaca aku menjadi lebih yakin untuk tidak pacaran dan menyimpan romantisme cinta hingga tiba saat halal. Bisa dibayangkan, jika kelas dua SMA sudah khatam buku nikah, maka secara ilmu, kesiapan psikologis, dan kesiapan biologis aku sudah sangat mantap untuk menikah.
Dari semua bacaan itu, muncullah pertanyaan “Kapan Nikahnya?” huaaa….”Ish, ish, ish…kecilkecil mau kawin!” komentar salah satu teman.
Awal kuliah,
Beruntung saya bisa melanjutkan kuliah, barangkali jika tidak kuliah saya sudah gulingguling minta kawin. Huehehehe….
Tapi, jauh di lubuk hati, keinginan untuk nikah dini masih menggebu. Apalagi ketika membaca buku berjudul “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan(NPSP)” Salim A.Fillah. Sungguh buku itu, menyuguhkan pemandangan super nikmat akan manisnya pacaran dan memadu kasih sepasang remaja dalam naungan halal. Ingin tahu seperti apa ekspresi saya? hemm…mupeng sambil garukgaruk lantai. Hihihi….
“Sebegitu enakkah pernikahan dini?” Pertanyaan muncul dari teman kos yang melihat deretan buku pernikahan di rak.
Ternyata….
Untuk merealisasikan keinginan nikah muda itu, saya membutuhkan waktu lima tahun penantian.
Barangkali Allah sedang melihat proses saya, karena bekal saya saat itu baru PERSIAPAN ilmu.
Dari SMA kelas dua saya sudah lahap buku-buku pernikahan, tahun-tahun pertama kuliah saya belajar management waktu dan management pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Di tahun ke dua kuliah saya belajar mengasuh anak-anak di pesantren tempat saya kos dengan setengah harga, hihihi…
Hingga akhirnya pada tahun ke tiga Allah berkenan mengirimkan jodoh laki-laki sholih setelah satu tahun saya lewati tanpa jeda puasa Daud dan sholat hajat.
laki-laki itu datang, dengan persiapan sempurna. Lelaki yatimpiatu yang bahkan kuliahnya pun ia bayar dengan hasil keringatnya sendiri.
Tabungan lima belas juta untuk ukuran seorang lelaki yatim-piatu adalah sebuah hal yang Waw!
Maka empat puluh lima hari sejak diperkenalkan seorang teman, kami pun menikah secara sederhana pure dengan dana dari sang lelaki.
Bukan, bukan tak ada bantuan keluarga dalam pernikahan kami. Bahkan kakak-kakak sang lelaki yang jumlahnya enam orang itu sudah sangat rempong memberi hantaran yang bermacam-macam. Pun keluarga sang mempelai wanita, sudah akan menyewa tukang rias dan kawan-kawannya.
Tapi, karena pernikahan ini sudah kami niatkan sederhana, maka negosiasi dengan keluarga kami lakukan dan disepakatilah : gaun menjahit sendiri, rias wajah sendiri dengan bantuan teman kos, rangkaian bunga melati penghias kerudung pun disiapkan oleh teman-teman semasa SMA.
Adapun uang tabungan si lelaki hanya terpakai delapan juta untuk sewa bis saat boyong membeli mahar berupa Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan uang belanja untuk walimah.
Saya bersyukur bisa merasakan Indahnya Pernikahan dini(Macam judul buku, Ustad Faudzil Adzim saja)
Kenapa bersyukur?
Karena….
Nikah dini itu, nggak enak! Tapi enakkkk…banget! Wkwkwk, macam iklan tepung bumbu saja.
“Bagaimana jika sekarang, bukan lagi DINI tapi sudah SIANG bahkan SENJA?”
Hemmm…barangkali jodoh belum datang karena suatu hal. Suatu hal itu bisajadi adalah sebuah KESIAPAN.
Pernikahan dini saya bukan seketika terjadi loh…. Allah menangguhkan keinginan saya hingga lima tahun. Dan selama waktu itu, saya terus mempersiapkan diri menyambut amanah besar berupa “Mitsaqon Ghalizha.” Pernikahan adalah perjalanan panjang dan berat, maka PERSIAPAN adalah menyambutnya adalah mutlak.
Ketika jodoh belum juga datang meskipun usia telah matang, barangkali kita perlu perbaiki PERSIAPAN. Apakah ada yang belum kita siapkan? Persiapan fisik, mental, ilmu, dan terutama bagi laki-laki persiapan dana.
Banyak laki-laki secara mental dan fisik terutama sudah sangat siap menikah, tapi ilmu dan dana belum dipersiapkan.
Memang pernikahan itu, tidak harus mahal. Ijab qobul dan walimatul ursy secara sederhana saja sudah cukup untuk mengikat dua insan menjadi pacar halal. Tapi, persiapan dana untuk menyambut pacar halal tentu saja harus tetap diusahakan. Bagi saya, bukan sebuah alasan jika ada laki-laki yang telah siap menikah tapi tidak mempunyai tabungan sedikit pun. Padahal sehari-hari saya melihatnya bisa jajan dan jalan-jalan dengan sangat borjuis. Menghamburkan uang untuk kesenangan dengan dalih, “Mumpung belum kawin.” Barulah ketika datang masa meminang ia bingung setengah mati, nggak punya tabungan sedikit pun.
Wahai lelaki, nabung, nabung, nabung!
Lihatlah Ali, ia rajin menabung kurma dari jatah makan sehari-harinya. Walau pun pada akhirnya Ali hanya bisa memberi mahar baju besi pada Fatimah. Bagaimana denganmu?
Bukan, bukan dari besarnya dana yang dimiliki seorang lelaki. Tapi, seorang wanita akan melihat seberapa kuat seorang lelaki menyisihkan penghasilannya untuk merayu Allah agar segera mengirimkannya jodoh untuknya.
Bagi wanita, merengeklah pada Allah dengan persiapan ilmu dan tambahkanlah permohonanmu dengan amalan yang rutin kau lakukan.
Amalan itu bentuknya bermacam-macam, sesuai kesanggupan dan kesungguhanmu..[]