SERINGKALI kita menganggap orang-orang yang memiliki kekurangan dalam hal fisik itu rendah daripada orang-orang berfisik normal. Padahal, tidak demikian! Boleh jadi kita menganggap mereka lemah, padahal mereka adalah sumber kekuatan. Boleh jadi, melalui merekalah sebuah kebahagiaan dalam hidup dapat kita rasakan.
Hal inilah yang terjadi pada seorang lelaki yang mempunyai anak bisu dan tuli. Ia adalah seorang pemaksiat. Tetapi, kemasiatannya itu terhenti karena adanya hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui anaknya itu.
Cerita ini disampaikan oleh salah satu penduduk Kota Madinah. Aku adalah laki-laki berusia 37 tahun, sudah menikah, dan sekarang sudah mempunyai anak. Aku sudah melakukan semua hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kalau shalat aku tidak melakukannya secara berjamaah, kecuali ada acara tertentu. Pada waktu itu aku bergaul dengan orang-orang yang nakal. Aku mempunyai anak berumur tujuh tahun, Marwan namanya. Ia tuli dan bisu, tetapi ia disusui dengan keimanan oleh ibunya yang hafal Al-Quran.
Pada malam hari, aku dan kawan-kawan merencanakan sesuatu. Tidak ada orang di rumah kecuali Marwan. Saat itu Maghrib, tiba-tiba anakku berbicara dengan isyarat, “Ayah mengapa tidak shalat?” Sambil menunjuk ke langit mengingatkan bahwa Allah melihatmu. Memang, anakku kadang melihatku melakukan pekerjaan mungkar.
Masuklah anakku yang tuli dan bisu itu setelah shalat Maghrib. Kemudian ia mengambil mushaf, membukanya, dan meletakkan jarinya pada surah Maryam berikut, “Wahai Ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih sehingga engkau menjadi teman bagi setan,” (QS. Maryam: 45).
Kami menangis. Kemudian ia mencium kening dan tanganku sambil berkata dengan isyarat, “Shalatlah wahai Bapakku sebelum engkau dikubur bercampur tanah, lalu terkena adzab.”
Aku pun dihinggapi rasa takut, kuhidupkan semua lampu di rumah. Tiba-tiba anakku berkata, “Biarkanlah lampu-lampu itu, mari kita ke Masjid Nabawi.” Kami pergi ke sana dan aku sendiri masih dalam ketakutan. Kami masuk Raudhah di antara kerumunan banyak orang. Terdengar iqamah untuk shalat Isya. Pada waktu itu imam masjid membaca ayat ini.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya ia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (QS. An-Nuur: 21).
Aku tidak bisa menahan tangis. Marwan juga ikut menangis karena aku menangis. Selesai shalat aku masih menangis dan ia menghapus air mataku. Ketika kami pulang ke rumah, malam itu malam yang paling membahagiakanku. Seolah-olah aku baru saja dilahirkan. Aku masuk dalam pintu Ar-Rahman. Malam ini aku tinggalkan jalan setan.
Malam itu ada istri dan anak-anakku. Semua menangis. Mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Lalu, Marwan berkata, “Bapak sudah shalat di Haram (Masjid Nabawi).” Mendengar kabar ini istriku sangat gembira. Sekarang, alhamdulillah, aku tidak pernah lagi meninggalkan shalat di masjid. Aku tinggalkan teman-teman yang buruk, dan aku rasakan manisnya iman. Sekarang kehidupan kami di rumah bahagia, setelah sebelumnya keluarga kami berantakan. Bertambahlah cintaku pada Marwan. Bagaimana aku tidak gembira karena ku mendapatkan hidayah melalui tangannya. []
Referensi: Bermalam di Surga/Karya: Dr. Hasan Syam Basya/Penerbit: Gema Insani Jakarta 2015