ALKISAH seorang santri bernama Heru, ingin sekali menghadiri pengajian di pesantren KH. Uci Turtusi, Cilongok, Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang. Kebetulan dalam pengajian itu akan digelar haulan Syeh Abdul Qodir Jailani.
Heru bersama temannya, Azis dan Jalal sepakat untuk berangkat ke pengajian tersebut. berbekal uang sepuluh ribu rupiah—yang sebenarnya tak cukup untuk ongkos sekalipun—mereka bertiga nekad berangkat. Selepas shalat isya, mereka kemudian berangkat.
Tak terasa, tiga orang santri itu sudah berjalan selama 3 jam lamanya. Alhasil sarung mereka jadi korban untuk menyeka keringat yang tak henti-hentinya mengucur. Salah satu dari mereka mengusulkan agar uang sepuluh ribu itu, dipakai untuk membeli air minum saja. Guna melepas dahaga.
Sayang, uang itu hilang. Mungkin jatuh ketika Heru berkali-kali menyeka keringatnya dengan sarung. Soalannya, uang itu Heru simpan di gulungan sarungnya. Kejadian itu sontak membuat ketiga santri itu tertawa.
Menjelang tengah malam, hujan turun tanpa mengabari terlebih dahulu. Tak ada tempat untuk berteduh barang sejenak, pun tiada kendaraan yang lalu lalang untuk meraka tumpangi. Namun, hal tersebut tak menyurutkan niat ketiga santri itu. Mereka terus berjalan, meski kehujanan.
Tak lama, mereka menemukan sebuah gudang tua. Berteduh lah mereka disana. Sambil membaca shalawat, mereka berbincang satu sama lain.
Terbesit niatan untuk kembali pulang, namun jarak tempuh yang lumayan jauh menjadi pertimbangan.
“Mau gimana lagi? Balik lagi ke kobong juga sudah sangat jauh. Duit juga hilang. Ya sudah pasrah saja sama Allah,” kata Heru bercerita.
Selepas hujan berlalu, ketiga santri kembali melanjutkan peralanan mereka. Kondisi jalanan yang becek serta genangan air, membuat perjalanan mereka kian melelahkan. Angin kencang membuat mereka menggigil kedinginan.
Tetiba lewat mobil pikap warna hitam. Mobil itu berhenti tepat di depan mereka. Sang sopir keluar dari tunggangannya, lalu menghampiri ketiga santri itu. Setelah berbincang, sang sopir memberi tumpangan untuk ketiga santri itu. Namun ia
Sopir bertanya kepada mereka tentang tujuan mereka. Setelah diceritakan, sang sopir memberi mereka tumpangan. Sebelumnya sang sopir meminta maaf karena hanya bisa memberi tumpangan di bak barang. Karena di depan sudah ada beberapa karung kentang.
Meski duduk di belakang bersama dengan aneka sayuran, ketiga santri itu tetap bersyukur. Mereka yakin pertolongan Allah telah datang.
Tidak berapa lama, sopir menghentikan mobilnya di sebuah minimarket 24 jam. Sang sopir masuk ke minimarket dan belanja beberapa barang. Tak disangka, ternyata sopir itu membelikan ketiga santri makanan dan minuman. Bukan main senangnya Heru dan temannya.
Tiba di persimpangan, sopir kembali menghentikan laju kendaraannya. Sopir turun dan menghampiri tukang ojek. Sedangkan ketiga santri hanya duduk di bak mobil menunggu apa yang akan selanjutnya terjadi.
Setelah beberapa menit berbincang dengan tukang ojek, sopir menghampiri santri dan berkata,
“Maaf, saya tidak bisa mengantar sampai tujuan. Pesantren Ki Uci belok ke sana. Sedangkan saya lurus mau ke Pasar Cikupa. Naik ojek saja ya. Tenang, ojek sudah saya bayar semua,” kata sang sopir.
Ketiga santri pum hanya bisa bengong. Mereka kagum dengan kemurahan hati sopir itu. Hanya ucapan terimakasih yang bisa mereka katakan.
Sebelum berpisah, sopir itu kembali menunjukkan kebaikannya. Sang sopir memberi uang kepada ketiga santri itu sebesar Rp 600 ribu.
“Nih, buat makan. Kalau ojek mah sudah saya bayar,” kata sopir itu sambil menyerahkan uang dengan cara bersalaman.
Kemurahan hati sang sopir membuat hati ketiga santri itu tergetar. Ketiganya tidak kuasa menahan air mata. Mereka semakin yakin, Allah bersama orang-orang yang mencari ilmu.
Sebelum berpisah, salah satu santri bertanya kepada sopir itu. “Mang, mamang ini siapa? Dari mana?” tanya santri.
“Saya hanya sopir tukang sayur,” ujarnya singkat sambil berlalu pergi. []
 Sumber: laman resmi NU.