Allah berhak untuk memberikan hidayah kepada setiap manusia yang dikehendaki-Nya. Cara orang mendapat hidayah pun tentu berbeda jalannya, Seperti yang dialami oleh Domingus Roudolsifa, pemuda asal Timor Leste. Dia mendapat hidayah masuk Islam setelah melihat akhlak baik dan kedermawanan ustadz Syamsul Arifin Nababan.
Domingus mengisahkan, sebelum mualaf dia bekerja menjadi pekerja proyek di NTT. Suatu ketika dia bertemu dengan seorang ustadz yang sikapnya baik dan santun. Ustadz itu juga dermawan, tak cuma ke sesama muslim tapi juga kepada nonmuslim.
Domingus sangat kagum dengan akhlak mulia ustadz tersebut. Cara bicara dan memperlakukan manusia lainnya begitu baik, sedangkan selama ini dia berkelakukan buruk. Sampai suatu ketika, dirinya melihat ada dua orang masuk Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Di situ saya menangis mendengar kalimat dua kalimat syahadat. Dalam pikiran saya apa makna dari syahadat,” kata Domingus di pondok pesantren Mualaf An Naba center
Dia terus kepikiran akhlak mulia sang ustadz dan ingin mempelajari keindahan akhlak Islam. Kemudian Domingus bercerita kepada mandornya soal keinginannya tersebut. Mandornya lalu menanyakan kesungguhannya. Dia meyakinkan mandornya bahwa bersungguh-sungguh ingin menjadi mualaf.
Sang mandorpun menyarankan agar keputusan itu diungkapkan kepada kedua orangtuanya. Tak menunggu waktu lama dia pulang ke kampung halaman dan menyampaikan keinginannya. Orangtuanya sangat kaget. Terlebih lagi ibunya merupakan seorang pendeta besar yang disegani di kampung halamannya.
“Alhamdulillah meski kaget namun mereka menyetujui,” ucap pemuda 20 tahun itu.
Tapi dia tidak langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Mandornya yang masih belum yakin atas keinginannya menanyakan langsung kepada kedua orangtua Domingus. Kedua orangtuanya mengiyakan bahwa mereka setuju jika anaknya pindah agama tanpa ada paksaan pihak manapun.
Kemudian, mandor itu memberitahukan niat Domingus kepada ustadz Nababan. Ustadz Nababan memfasilitasi Domingus ke Jakarta untuk bersyahadat dan tinggal di pondok pesantren An Naba.
Sesampainya di pondok, dia megikrarkan dua kalimat syahadat. Menurutnya setelah mengucapkan syahadat hatinya terasa damai. Beban-beban yang ada dipikirannya hilang dan mulai belajar Islam lebih mendalam. Dia lalu berganti nama menjadi Muhammad Arfan.
“Alhamdulillah awalnya saya belajar Iqra’, saya awalnya melihat Iqra’ itu pusing bagaimana cara bacanya,” kata anak sulung dari enam bersaudara ini.
Dengan masuk Islam ia berharap bisa berakhlak baik. Sebab selama ini dia anak yang kerap kali melawan kepada orangtua. Bahkan dia pernah meracuni ibunya. Dia tak pernah berkata baik dan santun terhadap orangtuanya. Dalam seminggu ia mengaku bisa sampai tiga kali membuat keluarganya menangis dengan perilakunya itu.
Saking buruknya ibunya menjuluki Domingus sebagai anak dajjal. Sebelum berangkat ke Jakarta pun dia mengaku sempat membuat nangis ibu dan adiknya. Malah adiknya sampai dia tendang dadanya. Masalahnya sepele karena bajunya dipakai oleh si adik.
Kini dia pun menyesal atas perbuatannya kepada keluarganya itu. Suatu hari dia ingin bersimpuh meminta maaf kepada orangtuanya.
Saat ini dia merasa perilakunya sudah mulai ada perubahan. “Mulai masuk Islam perilaku saya udah mulai berubah walau belum 100 persen,” tuturnya.
Dia pun sudah nyaman tinggal di pondok pesantren dan menganggap sebagai surga karena begitu tenang dan damai.[]
Sumber:Merdeka