Oleh: Ayati Fa
Penulis adalah presenter dan editor pada program radio Cermin Wanita Sholihah Muslimah
IDUL Adha adalah salah satu hari raya umat Islam yang setiap tahun senantiasa dirayakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Selain ibadah haji ke Mekkah, Idul Adha juga identik dengan peristiwa penyembelihan hewan kurban. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana refleksi Idul Adha ini dalam kehidupan berkeluarga. Di mana, karena kekuatan akidah mampu melahirkan ketaatan, kesabaran, pengorbanan dan rasa ikhlas hanya karena Allah semata. Tentu, sudah sepatutnya kita belajar dari keluarga Ibrahim yang mulia itu.
Ibrahim, sejak muda ia adalah seorang lelaki yang teguh dalam mencari hakikat kebenaran. Ia tak tunduk dalam kejumudan tradisi penyembah berhala. Ia mencari kebenaran dan teguh memegangnya meskipun nyala api dikobarkan Namrud untuk membakar jasadnya. Pun setelah ia menjadi utusan Allah. Kecintaannya pada Allah melebihi kecintaannya pada keluarga, istri maupun buah hati yang amat dicintainya.
Sesungguhnya, secara fitri setiap manusia memiliki apa yang disebut dengan naluri untuk memiliki (gharizatu tamalluk) dan naluri untuk mempertahankan jenis (gharizatu nau’). Perwujudan dari naluri-naluri ini adalah berupa kecintaannya pada harta benda, kecintaannya pada anak dan istri, juga keinginannya untuk memiliki kedudukan, jabatan, penghormatan dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an;
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (TQS. Ali Imran [3] : 14)
Dengan naluri itu pula, secara fitri manusia akan terdorong untuk melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan harta kekayaan, mencari pasangan hidup dan melahirkan keturunan serta berupaya untuk meraih jabatan dan penghormatan. Itu pula yang terjadi pada diri Nabiyullah Ibrahim alayhi salaam. Di usianya yang kian senja, Ibrahim selalu berharap dan berdoa kepada Allah untuk memperoleh keturunan yang shalih. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran, beliau berdoa dan memohon dengan penuh kesungguhan.
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (TQS. Ash-Shaffat [37] : 100).
Hingga Allah Yang Maha Kuasa pun mengabulkan doanya. Mengaruniakan katurunan kepada lelaki tua yang telah membelanjakan hidupnya untuk menyebarluaskan risalah-Nya itu.
“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Isma’il).” (TQS, Ash-Shaffat [37] : 101).
Sejatinya, peristiwa Idul Adha memang tidak bisa dipisahkan dari keluarga Ibrahim AS. Di mana, Idul Adha merupakan momen peringatan pengorbanan dan ketaatan keluarga Ibrahim terhadap perintah Allah untuk menyembelih puteranya, Isma’il. Perintah ini tentu sangat berat. Baginya, Isma’il tentu bukan hanya seorang anak. Isma’il adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang sudah lama dirindukan dan dimohonkan oleh Ibrahim dan isterinya Hajar. Hingga, tatkala usia Ibrahim sudah mulai senja, Isma’il baru lahir dari rahim istri beliau, Hajar.
Sungguh, begitu bahagia keluarga ini menerima karunia Allah yang sangat dirindukan dan diidam-idamkannya. Namun, ketika Isma’il mulai tumbuh berkembang sebagai seorang anak, turunlah sebuah perintah Allah supaya Nabi Ibrahim menyembelih putra yang didambanya itu.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu’” (TQS, Ash-Shaffat [37] : 102)
Betapa ini adalahlah ujian ketaatan seorang hamba terhadap perintah Tuhannya? Dan keluarga Nabi Ibrahim mampu melewati ujian ini. Allah pun membalas ketaatan ini dengan digantinya Isma’il dengan seekor domba. Dan penyembelihan kurban dan ibadah haji inilah yang pada akhirnya disyariatkan kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk dilakukan oleh umat Islam. Jadi, selayaknyalah bahwa keluarga Nabi Ibrahim AS merupakan contoh keluarga yang diliputi oleh totalitas ketaatan atas perintah Allah SWT.
Pelajaran Berharga
Sungguh bila ada pertanyaan; ”Pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari contoh keluarga Ibrahim AS bagi kehidupan berkeluarga kita saat ini?” Subhanallah, tentu kita akan menemukan begitu banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Pertama, sosok Nabi Ibrahim sebagai seorang suami dan ayah yang mampu mendidik keluarganya (anak dan isteri) sehingga menjadi orang-orang yang ridha dan taat pada perintah Allah semata. Hal ini nampak pada perbincangan Nabi Ibrahim dengan putra beliau, Isma’il;
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Isma’il) menjawab. ’Wahai Ayahku! lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’ (TQS, Ash-Shaffat [37] : 102)
Lalu, adakah sesuatu yang seharusnya bisa kita contoh kenapa Isma’il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya? Dan bagaimanakah Isma’il mampu memiliki kepatuhan yang begitu tinggi? Rupanya, untuk itu Ibrahim senantiasa berdoa memohon kepada Allah untuk dianugerahi anak yang shalih;
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (TQS. Ash-Shaffat [37] : 100)
Maka Allah pun mengkabukan doanya;
“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Isma’il).” (TQS, Ash-Shaffat [37] : 101)
Inilah rahasia kepatuhan Isma’il meskipun masih belia ia ikhlas dan sabar menerima apa yang telah Allah perintahkan kepada bapaknya. Semua ini tentu tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan yang senantiasa diliputi kasih sayang, kesabaran dan ketaatan hanya kepada Allah semata.
Demikian pula Nabi Ibrahim telah berhasil mendidik isterinya, Hajar sebagai seorang wanita yang yakin pada janji Allah. Wanita yang patuh dan taat kepada suami semata-mata karena kecintaanya kepada Allah, bukan yang lain. Maka tatkala telah pasti bahwa perintah untuk meninggalkan dia dan anaknya di gurun pasir yang gersang adalah perintah Allah, dia ridho dan yakin.
“Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Ibrahim menjawab, “Ya” Hajar berkata, “Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” (HR Bukhari)
Kedua, sosok isteri sholihah yang ada pada diri Hajar. Hajar, dialah wanita yang diberikan kepada Ibrahim dari pembesar Mesir. Ibrahim pun menikahinya. Hajar adalah seorang istri yang taat dan patuh pada suaminya. Kewajiban taat seorang istri kepada suami di sini tentu bukanlah ketaatan yang buta.
Ketaatan tersebut semata dalam rangka ketaatannya pada perintah Allah. Inilah yang akan meringankan dan melapangkan isteri ketika melaksanakan perintah suami, seberat apapun perintah suaminya tersebut. Isteri shalihah yakin bahwa dalam memenuhi perintah Allah pasti ada jaminan kemaslahatan dan pahala dari-Nya. Di mana Allah pasti tidak akan menyia-nyiakannya.
Ketiga, keluarga Ibrahim adalah gambaran sebuah keluarga yang solid dan komit terhadap perintah Allah. Memiliki visi dan misi hidup yang jelas, semata untuk ibadah kepada Allah dengan segala perintah dan aturan yang telah Allah turunkan. (TQS.Al-An’am [6]: 162).
Sungguh, bangunan keluarga muslim yang kokoh akan terwujud jika ditopang oleh sosok ayah atau suami yang mampu menjadi pemimpin (qowwam) bagi anak dan isterinya; hadirnya isteri shalihah yang akan menjadi pendamping dan pendukung perjuangan suami serta pendidik putera-puteri tercinta; serta anak-anak yang shalih yang menyenangkan hati kedua orang tuanya semata-mata karena ketaatannya pada perintah Rabbnya.
Kekuatan Iman Membentuk Keluarga Idaman
Ketaatan total kepada Allah yang dibuktikan oleh keluarga Nabi Ibrahim adalah wujud dari keimanan yang kokoh. Hal ini nampak jelas dalam perbincangan antara Nabi Ibrahim dengan isterinya maupun dengan puteranya (Ismail), bahwa semuanya senantiasa memastikan “Apakah ini perintah Allah?”. Inilah kekuatan keimanan yang lahir dari aqidahnya (TQS.Ash-Shaffat [37]:111).
Iman yang kuat bukan hanya tersimpan dalam hati. Tapi, iman tersebut akan mampu mendorong untuk senantiasa tunduk terhadap ketetapan yang telah diimaninya serta mematuhi setiap yang diperintahkan-Nya. Keimanan yang melahirkan ketaatan dan keridhaan (sami’na wa ‘atho’na). Dan ketaatan yang melahirkan anugerah; ditebusnya Isma’il dengan seekor domba. Ibrahim pun dijadikan pujian di kalangan orang-orang kemudian, dan dilimpahi kesejahteraan (TQS.Ash-Shaaffat [37]:107-110).
Beliau dengan istrinya; Hajar dan anaknya-Isma’il, di samping istri yang lainnya Sarah dan anaknya-Ishaq adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar keyakinan kepada Allah SWT. Mereka juga dapat membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT.
Pilar-pilar yang dibangun oleh keluarga teladan ini diungkapkan oleh Allah SWT secara perinci pada QS ash-Shaffat [37] : 99-112;
Pertama, memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim sebagai sosok ayah yang bertanggung jawab kepada keluarga. Namun, demi ketaatannya terhadap perintah Allah SWT maka dengan penuh keyakinan akan Maha Kasih Sayang Allah, ia rela meninggalkan anak dan isterinya di tengah gurun pasir yang sepi tiada kehidupan sama sekali.
Demikian juga Hajar, contoh isteri shalihah yang senantiasa mendorong dan mendukung suami. Sosok isteri yang menjadi sayap kanan suami.
Kedua, selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan anak dan keturunan yang shalih dan shalihah sebagai pewaris dan penerus perjuangan orang tuanya. Tentu, mereka diharapkan juga mampu mendirikan shalat dan perintah Allah yang lain dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, membangun keyakinan akan turunnya pertolongan Allah SWT yang dilandasi dengan kegigihan berusaha dan berikhtiar. (TQS. Muhammad[47] : 7). Sebagai contoh, ketika mencari air untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih kecil (Isma’il). Hajar berlari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwah. Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu air zamzam yang tidak pernah lekang sepanjang zaman.
Itulah nasrullah yang dijanjikan kepada hamba-Nya yang menolong agama-Nya. Hajar yakin bahwa kepergian suaminya bukan untuk menelantarkan dirinya juga anaknya, namun semata untuk menjalankan perintah Allah, menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia, Karenanya, Allah pasti akan memberikan pertolongan dan mengeluarkannya dari kesulitan.
Keempat, membudayakan diskusi dan musyawarah di antara sesama anggota keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik. Sebagai contoh, ketika Ibrahim bermimpi untuk menyembelih anaknya (yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT), Ibrahim berdialog dan berkomunikasi dengan Isma’il. Lalu, keduanya melaksanakan ketentuan Allah SWT ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Dalam keluarga harus terbangun komunikasi yang harmonis baik antara suami-isteri maupun antara orang tua dengan anak. Namun bukan komunikasi yang bebas-lepas tanpa kendali. Melainkan komunikasi yang harmonis penuh penghormatan dengan tetap merujuk kepada aturan Allah.
Kelima, membangun semangat berkorban untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT dan kecintaan kepada sesama manusia. Berkorban tidak saja berupa harta benda dan tenaga tapi juga jiwa yang lahir dari kecintaan kepada Allah semata.
Inilah beberapa pilar utama dalam membangun keluarga yang kuat yang telah dicontohkan oleh keluarga Ibrahim AS untuk dijadikan pelajaran dan suri teladan bagi orang-orang beriman yang menginginkan keluarganya bahagia sejahtera atas dasar ketundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT semata.
Mari Berkurban Tuk Tegaknya Panji Islam
Sebagaimana sebuah nashid yang dipopulerkan oleh grup nashid SNADA, “Belajar dari Ibrahim”, yang harus kita tiru dari keluarga Ibrahim adalah ketaatan total pada seluruh aturan Allah. Kita meneladani pribadi-pribadi agung yang kokoh dalam keimanan, taat terhadap semua aturan, dan sabar dalam ujian.
Mencontoh keluarga Ibrahim dalam kehidupan berkeluarga secara menyeluruh yang sarat dengan pembinaan keimanan dan pemberian contoh dalam ketaatan baik dari seorang ayah maupun ibu serta kerelaan untuk berkorban. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah ketaatan dalam melaksanakan aturan kemasyarakatan.
Bagi kita tidak ada kata lain, kecuali; Sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat. Kita tidak lagi memilih-milih. Siapakah yang lebih dicintai, Allah atau Isma’il? Siapakah yang lebih kita sayangi, Allah atau diri kita sendiri? Siapakah yang lebih kita turuti, hawa nafsu kita ataukah perintah Allah? Dan hukum buatan siapakah yang seharusnya kita terapkan, hukum buatan manusia atau hukum buatan Allah? Karenanya, tidak lagi ada pilihan bagi kita di hadapan perintah dan larangan Allah, kecuali patuh.
”Dan tidaklah layak bagi orang Mukmin laki-laki maupun bagi orang Mukmin perempuan, jika Allah dan rasul-Nyat telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.”
Untuk itu, marilah kita jujur, bagaimanakah sikap kita saat ini? Apakah kita telah memiliki ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya? Sudahkah kita menaati Allah dan Rasul-Nya dalam setiap perintah dan larangan-Nya? Sudahkah kita menerapkan seluruh aturan Allah dan Rasul-Nya dalam seluruh aspek kehidupan kita?
Ketika Allah memerintahkan kita shalat, kita segera melaksanakannya. Ketika Allah memerintahkan kita berpuasa, kita juga segera melaksanakannya. Ketika Allah memerintahkan kita haji dan berkurban, kita berupaya-berusaha untuk melaksanakknya. Pun ketika kita dilarang memakan babi dan meminum khamr kita pun segera meninggalkannya.
Lalu, mengapa ketika Allah memerintahkan kita untuk menerapkan hukum dan aturan-Nya, kemudian kita abai? Mengapa ketika Allah memerintahkan kita melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan hukum-hukum-Nya, kita tidak menunaikannya?
Inilah saatnya kita berkurban. Mengurbankan segala apa yang kita punya. Tampil ke depan membawa panji-panji Islam.
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.” (TQS. Al-Hajj [22] : 37)
Mari kita berkurban. Tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi, atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Berjuang dengan segenap daya dan kemampuan menyongsong kemenangan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. []