Oleh: Muhamad Nasir
Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam UIN Walisongo Semarang
UMAT muslim yang berbahagia, sebentar lagi kita akan jumpai moment ataupun tradisi yang biasa dilaksanakan sebagian orang muslim yakni ibadah Qurban.
Berangkat dari kisah nabi Ibrahim yang mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya Ismail, atau mengorbankan anak kesayangannya untuk Allah sebagai bukti ketaatan nabi Ibrahim. Kemudian sembelihan tersebut digantikan dengan seekor domba.
Hari Idul Adha adalah puncaknya ibadah Haji yang dilaksanakan oleh sebagian umat muslim yang mampu. Mayoritas kiai dan ulama mengatakan bahwa Idul Adha akrab dengan sebutan Idul Qurban atau lebaran Haji.
Secara bahasa kata qurban berasal dari bahasa Arab, qaruba, yaqrabu, qurbaanan yang artinya dekat atau mendekatkan. Adapun secara istilah yaitu sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah baik dengan sembelihan hewan qurban dan lainnya.
Sedangkan hukum melaksanakan qurban sendiri menurut beberapa ulama ialah Sunah Muakad (sunah yang dianjurkan) bagi orang yang mampu. Adapun dasar kesunahan qurban antara lain, Qs, Al-Kautsar ayat 2 yang berbunyi “Maka dirikanlah sholat karena Allahmu dan berqurbanlah”.
Pada dasarnya ukuran “mampu” berqurban hakikatnya hampir sama dengan ukuran kemampuan seseorang untuk bershodaqoh. Yakni memeliki kelebihan harta (uang) setelah kebutuhan pokok terpenuhi.
Akan tetapi menurut kajian ulama lain makna “mampu” itu tidak hanya dilihat dari materi saja, melainkan keinginan yang kuat dan usaha untuk merealisasikannya. Karena banyak orang diluar sana mampu berqurban meski ia hanya seorang pemulung. Maka, jika dikaji lebih dalam lagi makna sesungguhnya dari kata mampu ialah keinginan dan usaha kita untuk mampu melakukannya.
Di Indonesia, mayoritas masyarakatnya muslim, dan dapat dipastikan akan banyak yang berqurban pada hari raya Idul Adha nanti. Sedangkan hewan yang biasa digunakan untuk qurban ialah sapi, kerbau, kambing ataupun domba. Akan tetapi banyak juga masyarakat yang belum memahami apa hakikat melaksanakan Qurban. Realita yang terjadi di masyarakat, mengartikan bahwa hewan yang diqurbankan itu akan menjadi tunggangannya di akhirat nanti.
Padahal jika dikaji lebih lanjut ibadah qurban memiliki dua dimensi makna yang bersifat vertikal dan horizontal.
Hakikat qurban sendiri secara garis horisontal ialah pendekatan diri seorang hamba dengan Allah melalui hewan qurban tersebut.
Adapun secara vertikal yaitu keikhlasan Shohibul Qurban (orang yang berqurban) dalam menyembelihan tanpa mengharap imbalan apapun dan meningkatkan solidaritas sosial. Sebenarnya banyak manfaat lain yang dapat kita temui pada moment Idul Qurban.
Peningkatan Ekonomi
Idul Qurban pun memiliki peran penting dan ikut andil dalam perekonomian. Karena pada moment tersebut mulai meningkatnya pemesanan ternak seperti sapi dan kambing. Bahkan berperan pula untuk mengentaskan kemiskinan, karena secara tidak langsung sudah menggerakkan roda perekonomian ternak.
Selain itu moment Idul Qurban juga berpotensi dan mendorong sektor perekonomian yang lain. Apalagi tradisi masyarakat Indonesia selalu menyiapkan makanan khusus untuk untuk menyambut hari raya Idul Adha. Maka dapat dipastikan kebutuhan pokok masyarakat akan meningkat seperti bumbu-bumbu dapur dan yang lainnya. Selain itu sektor transportasi pun juga meningkat karena banyak juga masyarakat yang akan mudik walaupun hanya libur beberapa hari saja.
Oleh karena itu betapa pentingnya untuk meningkatkan kualitas peternakan di Indonesia dan pemerintahpun juga dapat mendukung agar tercapainya kualitas ternak yang baik. Sehingga tidak perlu lagi Indonesia mengimpor daging dari luar negeri yang harganya relatif mahal.
Bebas dari kesenjangan gizi
Selain berperan penting dalam perekonomian, Idul Qurban pun turut andil juga dalam masyarakat sosial. Jika kita cermati betapa mirisnya Indonesia dalam kasus kemiskinan. Karena masih banyak orang miskin, pengangguran, anak-anak yang kekurangan gizi bahkan masih ada yang kelaparan, Sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka tak seperti yang di harapkan.
Maka dari itu peran Idul Qurban dalam masyarakat khususnya di desa, setidaknya bisa menanggulangi kesenjangan gizi dan meningkatkan sektor perekonomian.
Seperti kita ketahui banyak kandungan gizi dan protein dalam daging qurban. Tentunya sangat baik untuk pertumbuhan dan asupan gizi untuk tubuh. Selain itu banyak masyarakat desa yang perekonomiannya kelas menengah kebawah, dan dapat dipastikan tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging, dibandingkan dengan orang kota yang mampu. Selain harga yang relatif mahal, masih ada kebutuhan lain yang harus mereka penuhi.
Esensi Idul qurban sendiri tidak hanya semata pendekatan seorang hamba dengan Allahnya melainkan banyak hal yang cukup bermanfaat dalam sosial masyarakat.
Selain menumbuhkan semangat solidaritas dan berbagi sesama. Dalam konteks sosial dan masyarakat Idul Qurban memiliki peran yang cukup signifikan untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan perekonomian khususnya di desa.
Seperti yang kita ketahui bahwa peternakan diminati oleh masyarakat desa khususnya sapi dan kambing. Sehingga peternak bisa menumbuhkan perekonomian desa dengan memaksimalkan potensi peternakan dan berakselerasi dengan sehat.
Paradigma masyarakat mengenai Idul Qurban sudah semestinya dirubah. Jika anggapan masyarakat bahwa hewan yang dikurbankan akan menjadi tunggangan mereka kelak, dan mengantarkannya ke surga. Anggapan tersebut kurang benar karena dalil atau hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut bersifat lemah (dhaif).
Akan lebih jelas lagi jika kita merujuk firman Allah yang berbunyi, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya. ” (QS Al Hajj : 37).
Oleh karena itu esensi ataupun hakikat dari Idul Qurban tidak sekedar bagi-bagi daging semata. Selain proses untuk pendekatan diri kepada Allah melainkan dapat menjadikan solusi untuk perekonomian desa. Sehingga dapat membantu pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Allahu’alam Bi Showab. []