Siapa yang tak kenal Malcolm X, tokoh Muslim Afrika-Amerika dan aktivis hak asasi manusia di era 1960-an. Malcolm X yang lahir dengan nama Malcolm Little, gigih memperjuangkan hak-hak kulit hitam. Para penentangnya menuduhnya mengajarkan rasialisme, supremasi kulit hitam dan kekerasan.
Ketika Malcolm masih kanak-kanak, Ayah Malcolm X dan saudara ayahnya tewas dibunuh oleh para pendukung supremasi kulit putih. Diantaranya, ada yang digantung. Perjalanan hidup Malcolm yang kelam, menghantarkan dirinya ke penjara. Hingga ia menemukan Islam, dan bergabung dengan Nation of Islam pada tahun 1952.
Sebelum keluar dari Nation of Islam pada tahun 1964, Malcolm X menyebut, bahwa orang kulit hitam adalah orang-orang asli dunia, dan orang-orang kulit putih adalah “setan”. Malcolm juga menyerukan, orang kulit hitam lebih unggul daripada kulit putih, seraya melontarkan ancaman, bahwa kematian ras kulit putih sudah dekat.
Pandangan ekstrim Malcolm X berubah terkait rasialisme, saat ia melakukan perjalanan haji pada bulan April 1964, atas rekomendasi Dr. Mahmoud Shawarbi. Sejak namanya berganti menjadi El Hajj Malik El-Shabbaz, ia tampil sebagai pribadi yang bijak, tidak lagi mengatakan, orang-orang kulit putih adalah “setan”.
Seperti diakui Malcolm X, ia pertama kali mendengar ibadah haji dari orang-orang Arab yang berasal dari Timur Tengah, atau kaum muslim dari Afrika Utara. Selama berada di Tanah Suci, Malcolm X, menerangkan apa sebenarnya yang terjadi antara kulit hitam dan kulit putih di Amerika. Dendam yang dirasakan warga Amerika berkulit hitam, adalah reaksi terhadap rasialisme di Amerika yang sudah berjalan selama 400 tahun lebih.
Malcolm X mengatakan, bagi kaum muslim, naik haji merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Ia merasakan suasana yang sangat menyenangkan. Selama di Tanah Suci, tidak ada perlakuan berdasarkan perbedaan warna kulit. Dan rasanya baru saat itulah, Malcolm seperti keluar dari penjara yang sesungguhnya.
Dalam buku “Malcolm X Sebuah Otobiografi”, sebagaimana penuturannya kepada Alex Haley, Malcolm bercerita saat ia memasuki daerah dimana seseorang harus memakai pakaian ihram untuk menunaikan ibadah haji. “Pada saat itu, kedudukan semua orang sama. Apakah ia seorang pangeran, raja atau petani, orang tidak menghiraukannya. Kami semua berpakaian ihram dan berseru Labbaika..Labbaika!”
Malcom X mengatakan, “Aku benar-benar merasa bersyukur bisa naik pesawat terbang bersama-sama dengan mereka yang terdiri dari berbagai ras. Kulit putih, kulit hitam, merah, kuning, coklat, dan juga mereka yang berambut sedikit kemerah-merahan, satu sama lain menganggap masing-masing sebagai saudara. Kemuliaan Allah yang membukakan mata hati kami, sehingga kami bisa saling menghargai.”
Keheranan Malcolm X
Malcolm X juga merasa heran ketika seorang kapten pilot berkebangsaan Mesir, tak terkecuali Co-pilotnya, memiliki kulit yang lebih hitam legam dari dirinya, lalu mengundang Malcolm X dengan ramah untuk datang ke kokpit pesawat. Malcolm heran ada seorang berkulit hitam mengemudikan pesawat terbang.
Malcolm X juga menceritakan, saat ia tiba di Jeddah. Sebelum berhaji, ia bersama rombongan lainnya, dibagi dalam beberapa kelompok kecil tanpa mempertimbangkan perbedaan ras. Selama di Tanah Suci, Malcolm memulai perenungannya mengenai warna kulit. “Aku mulai mengakui secara jujur, bahwa kulit putih hanya sekedar sebutan saja. Yang penting adalah bagaimana sikap dan perbuatan mereka.”
Di Amerika, kata Malcolm, pengertian kulit putih lebih menunjuk pada sikap dan tingkah laku yang memusuhi kulit hitam, atau siapa saja yang tidak termasuk dalam ras putih. Tetapi dalam Islam, Malcolm melihat sikap kulit putih lebih ramah dan tidak membeda-bedakan siapapun yang dihadapinya.
“Terjadi perubahan besar dalam diriku, yang tidak bisa kujelaskan dengan gambling. Di sini, di tempat ini, selama aku menunggu pelaksanaan ibadah haji, jendela hatiku mulai terbuka terhadap apa-apa yang berbau Barat,” ujar Malcolm.
Saat jalanan dipenuhi oleh calon jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, Malcolm belum pernah mengalami situasi menyenangkan sebelumnya. “Meskipun aku terasing, aku merasa aman dan terlindung. Aku berada di lingkungan yang ribuan kali berbeda dari yang pernah kualami. “
Malcolm X kembali merasakan keheranannya, saat jutaan jamaah haji mengelilingi Ka’bah (Thawaf). Mereka datang dari penjuru dunia, baik laki-laki maupun wanita, dalam berbagai rupa,warna kulit , serta berbagai ras di dunia.
Malcolm pun mendengar doa-doa yang dipanjatkan, “Ya Tuhan, sumber segala kedamaian, berilah kami ketentraman.”Malcolm juga menyaksikan kerumunan jamaah haji yang berupaya mencium Ka’bah, meraih Ka’bah dengan tangannya, ada yang menangis seraya mengumandangkan takbir.
Malcolm X juga turut berjalan diantara dua bukit Shafa dan Marwa, dimana Hajar bersusah payah mencarikan air untuk anaknya, Ismail. Lalu berdiri di Gunung Arafah. Kemudian melempar jumrah dengan tujuh batu kerikil. “Kita, yang datang dari berbagai penjuru dunia, terdiri dari berbagai ras, dan syang sekarang berkumpul di sini adalah satu saudara. Itu semua berkat kuasa Allah.”
Malcolm X pun berdoa, “Ketika aku berada di Tanah Suci, tanah kelahiran Nabi Muhammad, tanah kelahiran Nabi Ibrahim, aku memohon kepada Allah agar memberiku wawasan baru terhadap kebenaran ajaran Islam serta pemahaman yang lebih baik terhadap rasialisme yang terjadi di Amerika.
“Hidupku memang berubah. Inilah yang kutulis berdasar kata hatiku. Tidak pernah aku merasakan keramahan dan ketulusan yang dilimpahkan kepadaku dengan penuh rasa persaudaraan yang tinggi dari berbagai ras dan warna kulit, seperti yang kualami di Tanah Suci, tanah tempat Ibrahim dan Muhammad dilahirkan, tanah tempat para Nabi dan kitab suci diturunkan.” []