Ketertarikan masyarakat terhadap jalan pintas sepertinya tidak pernah pudar, baru baru ini kita disuguhi “tayangan” baru tentang kegagalan salah satu biro besar yang menawarkan “jalan pintas” untuk berangkat umroh.
Berbeda dengan rentetan kejadian travel lebih kecil yang tergolong senyap. Kegagalan travel yang ini sontak menarik perhatian publik, pasalnya jumlah korban nya cukup banyak dan beberapa memiliki jabatan cukup penting.
Kalau mau melakukan kilas balik, tanda-tanda akan ambruknya travel ini sudah lama terdengar santer di kalangan penggiat industri umroh dan khalayak tertentu.
Namun karena kemampuan dari travel ini untuk melakukan manajemen risiko dan kekuatan pemasaran begitu masif. Maka sampai beberapa saat yang lalu tidak ada yang tahu kapan travel ini akan menemui jalan buntu.
Saya percaya jika manajemen travel ini sedikit lebih prudent saja dalam mengelola keuangan, bisa jadi kedok perusahaan ini mungkin baru akan terbongkar saat ekonomi Indonesia benar benar lesu-dan jumlah pendaftar umroh berkurang.
Saya berpendapat bahwa kejadian ini tidak lepas dari “jalan” yang sudah digariskan. Lebih lagi saya juga percaya hakikat umroh dan haji yang hakiki adalah membunuh hawa nafsu dan bukan proses ibadahnya itu sendiri.
Lalu, bagaimana nasib jamaah yang menunggu diberangkatkan? Apakah masih ada harapan untuk mereka? Saya rasa kita bisa bercermin ke industri finansial dan moneter yang menjual perasaan aman dan kepercayaan. Sekali organisasi gagal dalam menyajikan rasa aman, maka sontak rubuhlah semua sistem yang berdiri diatas pondasi kepercayaan tersebut.
Hal ini sudah sering kita jumpai pada setiap krisis finansial dan moneter yang terjadi sepanjang sejarah dunia. Untuk mencegah dampak sistemik dari kegagalan organisasi finansial, biasanya pemerintah turun tangan dengan mekanisme bail out.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah pernah melakukan proses ini setidaknya dua kali sepanjang sejarah. Dan keduanya mengakibatkan inflasi dan menurun nya daya beli selama bertahun tahun. Walaupun akhirnya juga berhasil menghindarkan Indonesia menjadi negara gagal.
Apakah bail out kewajiban pemberangkatan oleh pemerintah ini seperti didengungkan oleh beberapa pemerhati dan korban travel merupakan pilihan? Saya rasa pemerintah harus mempertimbangkan opsi ini, apalagi melihat skala kegagalan yang begitu masif.
Tapi kita juga harus berpikir, sekali saja pemerintah turun tangan, maka sepertinya ada jaring pengaman dari pemerintah untuk kejahatan white collar seperti ini di masa depan. Hal ini dikhawatirkan memberikan insentif untuk penjahat lain melakukan modus operandi yang sama.
Dalam kasus ini, pelakunya pun saya percaya tidak akan sanggup bertanggung jawab lagi, kalaupun asetnya dilego, saya percaya tidak akan mampu menutupi seluruh kewajiban dari travel ini. Pernyataan kesiapan bertanggung jawab dari kedua tersangka tersebut lebih pada upaya untuk buying time dan tidak akan meringankan penderitaan korban.
Saya rasa, selain menghukum pelaku dan menyelamatkan korban. Solusi yang baik harus juga sekaligus melakukan edukasi masyarakat supaya tidak terjerumus dalam skema sejenis di masa depan.
Persisnya, dalam hal ini saya berpendapat bahwa jamaah yang sudah berangkat harus juga “dididik” dengan bertanggung jawab atas fasilitas “lebih” yang sudah dinikmati pada saat keberangkatan yang lampau.
Teknisnya sederhana, para jamaah yang berhasil berangkat harus mengembalikan selisih harga fasilitas yang sudah dinikmati dengan harga tidak wajar. Selisihnya bisa didistribusikan kembali ke jamaah belum berangkat untuk meringankan beban kerugian yang diderita.
Tentunya pemerintah juga harus melakukan terobosan untuk membuat payung hukum skema redistribusi ini, bisa jadi dengan membuat undang undang atau peraturan hukum lainnya. Memang repot, tapi saya percaya bahwa tindakan ini bisa menghindarkan masalah yang sama di kemudian hari.
Dengan solusi ini saya percaya kita bersama sama berperan aktif melakukan edukasi masyarakat supaya lebih bertanggung jawab dalam “berinvestasi”,sekaligus meringankan penderitaan korban penipuan umroh yang sekarang.
wallahu a’lam bishawab. []