Di masa-masa di mana kebenaran dan kebatilan seolah tak punya batas yang jelas, maka disitulah kita lebih lagi harus dekat dengan Allah meningkatkan takwa.
Sebab pada mereka yang bertakwa Allah berikan furqan, yaitu kemampuan untuk melihat yang mana yang benar dan yang mana yang salah secara sebenar-benarnya.
Di masa itu kita harus lebih dekat dengan Al-Qur’an, sebab ia akan menjadi furqan juga, pembeda antara haq dan bathil, yang menjadi penjelas akan baik dan buruk.
Masa-masa itu akan dipenuhi oleh penipu yang berlagak benar, dan orang-orang benar akan dikriminalkan. Pemberi peringatan akan ditangkap, provokator dilindungi.
Komunis nyata-nyata menentang Ketuhanan, saat ada ulama yang mengingatkan malah diborgol dan diperlakukan hina. Sementara penista agama diperlakukan mulia.
Kapitalis yang terbukti menjadi sebab sengsaranya rakyat diberi tempat dan dipuja, hasil bumi asing membanjiri bumi para pribumi yang membakar hasil bumi sebab putus asa.
Kesombongan, keserakahan, kedzaliman apapun, asal dilabeli “Saya Indonesia, saya pancasila” mendapat eksepsi, sementara yang nyata mencintai negeri dituduh makar.
Tak ada tempat buat agama di masa fitnah, apalagi mereka yang merindukan syariat. Sebab menerapkan agama dianggap sebagai penghinaan dan intoleransi.
Kejujuran tak lagi dirindukan, sebab tontonan dusta sudah jadi bagian tak terpisahkan, pendusta bergandeng dengan penista, sumringah di tengah-tengah derita ummat.
Dan disaat-saat itu, kita dipaksa tertawa menyaksikan umat yang dihibur hanya dengan karung, kerupuk, dan kelereng, sementara bumi mereka dikeruk maling.
Tapi kita mencintai Allah, kita mencintai Indonesia, negeri kaum Muslim yang dititipkan para pejuang pada kita, karenanya kita takkan putus asa mengajak manusia taat.
Karena kemerdekaan hakiki adalah mengajak manusia untuk totalitas menghamba hanya pada Allah, memurnikan ketaatan hanya pada pemberi kemerdekaan pada kita. []