NABI Ibrahim gundah bukan buatan. Ayah yang sangat dikasihinya ternyata tak mau berhenti menyembah patung berhala. Jelaslah Nabi Ibrahim ingin sekali melihat ayahnya berada dalam jalan yang benar, namun ia pun sadar sepenuhnya bahwa hidayah itu adalah di tangan Allah. Bagaimana pun ia sepenuh hatinya berkehendak agar ayahnya mendapat hidayah, namun bila belum dikehendaki oleh Allah, maka sia-sialah keinginan dan usahanya.
Nabi Ibrahim tidak henti-henti dalam setiap kesempatan mengajak kaumnya berdialog tentang kepercayaan yang mereka anut dan ajaran yang ia bawa. Dan ternyata bahwa bila mereka sudah tidak berdaya menyanggah alasan-alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim tentang kebenaran ajarannya dan kebathilan kepercayaan mereka, maka dalil dan alasan yang usanglah yang mereka kemukakan yaitu bahwa mereka hanya meneruskan apa yang oleh bapak-bapak dan nenek moyang mereka lakukan. “Sekali pun kami tidak akan melepaskan kepercayaan dan agama yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami,” ujar mereka.
“Ini sesat,” ujar Nabi Ibrahim.
Tapi kaumnya bergeming, tetap pada pendiriannya. Nabi Ibrahim pada akhirnya merasa tidak bermanfaat lagi berdebat dengan kaumnya yang berkepala batu. Sejenak, bapak para nabi itu kemudian merancang akan membuktikan kepada kaumnya dengan perbuatan yang nyata bahwa berhala-berhala dan patung-patung mereka betul-betul tidak berguna bagi mereka dan bahkan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
Adalah sudah menjadi tradisi dan kebiasaan penduduk kerajaan Babylon bahwa setiap tahun mereka keluar kota beramai-ramai pada suatu hari raya yang mereka anggap sebagai keramat. Berhari-hari mereka tinggal di luar kota di suatu padang terbuka, berkemah dengan membawa bekal makanan dan minuman yang cukup. Mereka bersuka ria dan bersenang-senang sambil membiarkan kota-kota mereka kosong dan sunyi. Mereka berseru dan mengajak semua penduduk agar keluar meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci itu. Nabi Ibrahim yang juga turut diajak turut serta berlagak berpura-pura sakit, dan diizinkanlah ia tinggal di rumah, apalagi mereka merasa khuatir bahwa penyakit Nabi Ibrahim yang dibuat-buat itu akan menular dan menjalar di kalangan mereka bila ia turut serta.
“Inilah kesempatan yang kunantikan,” ujar Nabi Ibrahim dalam hati. Kota sudah kosong ditinggalkan penduduknya, sunyi senyap tidak terdengar apapun, kecuali suara burung-burung yang berkicau, suara daun-daun pohon yang gemerisik ditiup angin kencang. Dengan membawa sebuah kapak ditangannya, ia pergi menuju tempat peribadatan kaumnya yang sudah ditinggalkan tanpa penjaga, tanpa juru kunci, dan hanya deretan patung-patung yang terlihat di serambi tempat peribadatan itu. Sambil menunjuk kepada sembahan bunga-bunga dan makanan yang berada di setiap kaki patung, berkata Nabi Ibrahim, mengejek: “Hai berhala, mengapa kau tidak makan makanan yang lezat yang disaljikan untukmuini? Jawablah aku!”
Tentu saja tak ada jawaban. Patung itu hanya menatap kosong. Kemudian mulailah Nabi Ibrahim menghancurkan patung-patung itu dengan kapak yang berada di tangannya. Patung yang besar ditinggalkannya utuh, tidak diganggu sedikitpun. Sebelum pergi, Nabi Ibrahim mengalungkan kapaknya pada leher berhala paling besar itu. Nabi Ibrahim memandangi lagi bongkahan patung-patung yang berserakan. Ia menghela nafas. Konon, pada awalnya, patung-patung itu dibangun atas nama budaya, seni, dan penghormatan pada orang-orang baik yang ada di daerah mereka. Kenyataannya, setelah banyak generasi hilang, kini patung itu menjadi sesembahan secara simbolis.
Terperanjat dan terkejutlah para penduduk, tatkala pulang dari berpesta ria di luar kota dan melihat keadaan patung-patung mereka hancur berantakan dan menjadi potongan-potongan terserak-serak di atas lantai. Bertanyalah satu kepada yang lain dengan nada heran dan takjub, “Gerangan siapakah yang telah berani melakukan perbuatan yang jahat dan keji ini terhadap tuhan-tuhan sesembahan kita ini?”
Yang lain menjawab, “Ada kemungkinan bahwa orang yang selalu mengolok-olok dan mengejek kita yang bernama Ibrahim. Dialah yang melakukan perbuatan yang berani ini.”
Seorang yang lain menambah, “Bahkan dialah yang pasti berbuat, karena ia adalah satu-satunya orang yang tinggal di kota sewaktu kita semua berada di luar merayakan hari suci dan keramat itu.”
Selidik punya selidik, akhirnya terdapat kepastian bahwa Ibrahimlah yang merusak dan memusnahkan patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai membicarakan kejadian yang dianggap suatu kejadian atau penghinaan yang tidak dapat diampuni terhadap kepercayaan dan persembahan mereka. Suara marah, jengkel dan kutukan terdengar dari segala penjuru, yang menuntut agar si pelaku diminta bertanggungjawaban dalam suatu pengadilan terbuka, di mana seluruh rakyat penduduk kota dapat turut serta menyaksikannya.
Dan memang itulah yang diharapkan oleh Nabi Ibrahim agar pengadilannya dilakukan secara terbuka di mana semua warga masyarakat turut menyaksikannya. Karena dengan cara demikian beliau dapat secara terselubung berdakwah, seraya menerangkan kebenaran agama dan kepercayaan yang ia bawa.
Hari pengadilan ditentukan dan datanglah rakyat dari segala pelosok berduyun-duyun mengujungi lapangan terbuka yang sudah disiapkan.
Ketika Nabi Ibrahim datang menghadap para hakim yang akan mengadili ia disambut oleh para hadirin dengan teriakan kutukan dan cercaan, menandakan sangat gusarnya para penyembah berhala terhadap beliau yang telah berani menghancurkan sesembahan mereka.
Ditanyalah Nabi Ibrahim oleh para hakim, “Apakah engkau yang melakukan penghancuran dan merusakkan tuhan-tuhan kami?”
Dengan tenang dan sikap dingin, Nabi Ibrahim menjawab, “Patung besar yang berkalungkan kapak di lehernya itulah yang melakukannya. Cuba tanya saja kepada patung-patung itu siapakah yang menghancurkannya!”
Para hakim penanya terdiam sejenak seraya melihat yang satu kepada yang lainnya dan berbisik-bisik, mereka sadar bahwa Ibrahim sedang mengejek mereka. Kemudian berkatalah si hakim, “Engkau tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat berkata, mengapa engkau minta kami bertanya kepadanya?”
Berkata Nabi Ibrahim kepada para hakim itu, “Jika demikian halnya, mengapa kalian sembah patung-patung itu, yang tidak dapat berkata, tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat atau menolak mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan kebinasaan? Alangkah bodohnya kalian dengan kepercayaan dan persembahan kalian itu! Tidakkah kalia bisa berpikir dengan akal yang sehat bahwa sesembahan kalian ini adalah perbuatan yang keliru. Mengapa kalian tidak menyembah Tuhan yang menciptakan kalian, menciptakan alam sekitar dan menguasai kalian di atas bumi dengan segala isi dan kekayaan. Alangkah hina dinanya kalian dengan sesembahan kalian itu.”
Semua yang hadir terdiam. Lama sekali. Mereka kembali berpandangan. Sebuah kenyataan yang menyesakkan dada, namun harus mereka akui kebenarannya. []