Oleh : Nurman Kholis
Penulis adalah Pegawai Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama,
E-mail: nukhdata@yahoo
28 Mei 2006, kira-kira pukul setengah satu malam, saya dibangunkan istri. Ia meringis sambil memegang perutnya yang tengah hamil 9 bulan. Saya beserta mertua perempuan langsung membawanya ke rumah bidan yang terletak beberapa puluh meter dari rumah mertua. Kami pun begadang sambil berharap-harap cemas dan berdoa agar istri dan anak yang dikandungnya selamat. Istri semakin meringis. Ringisan sebagai ekpresi perjuangannya antara hidup dan mati. Bukan hanya hidup dan mati dirinya, namun juga hidup dan mati anak yang di kandungnya.
Saya berusaha menenangkan diri dengan mengingat ilahi rabbi. Ketenangan saya terusik, karena teringat bibi yang pernah bercerita, istri bapak yang pertama (sebelum menikah dengan ibu saya) meninggal saat melahirkan. Bayi yang dikandungnya juga kemudian meninggal.
Selama beberapa jam, kondisi istri tidak berubah. Ia pun salat subuh semampunya, sementara saya dan mertua bergantian melakukan salah satu kewajiban kepada Allah tersebut. Pagi pun berganti siang. Kami pun melakukan hal serupa pada waktu Dhuhur.
Kira-kira satu jam kemudian, istri semakin meringis sambil mengucapkan lafzul jalalah. Mertua pun berusaha menyemangati agar ia tetap tabah. Tangan kanan istri memegang tangan mertua, sedangkan tangan kirinya memegang tangan saya yang semakin erat. Pegangannya pun semakin erat. Hingga akhirnya, sang bidan berhasil mengeluarkan jabang bayi. Sang bayi menangis, kami pun tersenyum atas keselamatan istri dan sang bayi.
Saya teringat kepada sebuah syair: “Wahai anak Adam, ibumu melahirkanmu dalam keadaan menangis, sedangkan sekelilingmu tertawa gembira. Berjuanglah hingga nanti ketika kamu meninggalkan dunia ini sekelilingmu menangis, kamu tertawa bersama amal saleh yang dibawa.” Saya pun memberi nama yang telah dipersiapkan, Sailal Ashfiya Hulwa (Aliran Kejernihan-Kejernihan yang Manis). Kata “Ahfiya” terilhami oleh kitab manaqib (riwayat hidup) Syekh Abdul Qadir Jailani peninggalan kakek, yang di dalam judulnya terdapat kata tersebut.
Kini, anak pertama kami itu telah berusia lima tahun. Ia pun ternyata diberi kemampuan dan kemudahan oleh Allah swt melalui didikan istri untuk menghapal. Kini, ia hampir hapal seluruh juz ‘amma, tinggal satu surat lagi yang belum hapal. Sebagai salah satu ekspresi rasa syukur saya atas karunia Allah tersebut, saya berusaha memberinya kado pada ulang tahun ke-5 nya.
Pada suatu Sabtu Minggu lalu (21 Mei 2011), saya beserta Bapak Zaim Saidi berkunjung ke zona wisata dinar dan dirham di Cilincing. Dari salah seorang pedangang di kawasan ini, saya membeli gula pasir 2 kg seharga 1/2 dirham (1,5 gram perak). Perjalanan pun dilanjutkan ke Istana Dhuafa di Jl. Kramat Jaya, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Di lembaga pendidikan bagi anak-anak miskin ini juga dijual kue-kue coklat dalam ukuran kecil. Saya pun membeli kue-kue tersebut sebanyak 90 buah seharga setengah dirham. Kue-kue ini saya beli sebagai kado untuk ulang tahun Hulwa yang ke-lima.
Saya membeli kue-kue coklat tersebut, setelah teringat permintaan Hulwa dengan manja: “Yah beliin kue dong, buat ulang taun, buat dibagi ke teman-teman”.
Saya pun pernah bertanya kepada Hulwa: “Kakak, mending uang kertas atau uang perak?”
Dia menjawab: “Mending uang perak yah, apalagi uang emas!” sambil senyum-senyum.
Kini, kue-kue coklat itu sudah dibagikan kepada teman-teman Hulwa. Semoga, suatu saat pada masa ia dewasa atau sebelumnya, dinar dan dirham telah kembali memasyarakat menggantikan uang kertas. Hal ini sebagaimana hadits: “Pasti datang suatu zaman kepada manusia, pada zaman itu, tidak ada barang yang bermanfaat (bernilai) kecuali dinar dan dirham,” (H.R. Ahmad).
Dinar dan dirham hilang dari peredaran diganti uang kertas terutama sejak berdirinya IMF dan Bank Dunia tahun 1944. Melalui kedua lembaga yang dikendalikan Zionis Yahudi ini, kaum muslimin pun berhasil dipecah belah dan diadu domba. Bahkan, saling sikut hingga saling bunuh untuk menduduki KURSI kekuasaan.
Saya pun teringat saat Hulwa berumur 3 tahun. Pada musim kampanye tahun 2009 lalu, di TV-TV sering muncul iklan “KATAKAN TIDAK, PADA KORUPSI”. Hulwa pun berusaha menirunya sekaligus dengan mengangkat tangan kanannya. Namun, dari mulutnya yang meluncur adalah kata-kata: “KATAKAN TIDAK, PADA KORSI. KATAKAN TIDAK PADA KORSI, KATAKAN TIDAK PADA KORSI”, tanpa ada yang mengajarinya. Ayah dan Ummi nya pun membiarkannya. Hal ini berbeda, jika ia salah membacakan hapalan surat-surat Juz’ammanya, jika salah, uminya bilang, “bukan itu…ayo ulang lagi”.
KATAKAN TIDAK PADA KORSI atau kekuasaan yang membuat umat Islam semakin dijajah oleh Zionis Yahudi dengan senjatanya berupa kertas-kertas kecil bernama “dolar” dsb.
Sannah Hilwah, Miladuki sai’id. Robbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yun waj’alna lilmuttaqiina imaama. Selamat Ulang Tahun. Ya Tuhan kami. Berilah kepada kami. dari pasangan-pasangan kami, dan keturunan-keturunan kami yang menjadi penyejuk pandangan mata kami. DAN JADIKANLAH KAMI PEMIMPIN BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAQWA. (Sebuah do’a dalam al-Quran yang mengajarkan kepada kita untuk tidak hanya bertakwa, namun menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa). Semoga kita dan keturunan kita termasuk di dalamnya. Aamiin. []