Kita tetap setia tetap sedia mempertahakan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita
Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan setiap hari kemerdekaan. Bergema di seluruh negeri. Ya!
17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Nyanyian itu menancap ke ulu hati. Merembes pelan ke pelupuk mata, membuatnya berkaca-kaca dan mengalir ke pipi.
Begitulah, di tengah kondisi bangsa yang hiruk pikuk dengan isu perongrongan bangsa asing, isu perpecahan dalam negeri, refresivitas pemerintah terhadap rakyat lagu itu nyatanya menjadi gema yang menukik telinga. Katanya kita tetap sedia memeprtahankan Indonesia.
Katanya tetap setia membela negara. Nayatanya alih-alih merasa dipertahakan, rakyat rasanya bagai dibelenggu dengan kebijakan yang meneysakkan dada. Utang negara melilit bangsa, entah dikemanakan uangnya, menteri keuangan tak dapat menjawab. Usaha rakyat diberantas dengan dalih yang tak dapat dibuktikan. Pergerakan ormas dibatasi, katanya ingin meruntuhkan NKRI.
Slogan-slogan saya Pancasila seolah memojokkan suatu golongan. Suatu umat yang katanya ingin mengubah dasar negara. Sayangnya, jadi digeneralkan pada penganut agama mayoritas. Gerak makin dibatasi. Takut meruntuhkan NKRI-bahkan empunya roti pun kebakaran jenggot hanya karena agennya bagi-bagi ke masa demonstrasi yang hanya melakukan aksi damai. Katanya kami pro NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Omong-omong soal NKRI, mengajarkan menjaga NKRI pada penganut agama mayoritas negeri ini seperti basi. Kawas mapatahan ngojay ka meri. Kalau pepatah Sunda. Semua mesti tahu bahwa umat ini membela negara kita sejak sebelum merdeka. Dibuktikan dengan tokoh organisasi terbesar negeri ini yang mengeluarkan fatwa jihad mempertahakan negara. Menggelorakan semangat jihad merebut kemerdekaan. Dalam persiapan kemerdekaan, tokoh terbaik umat ini ikut andil. Lalu lupakah mereka pada founding father selain dua orang yang ada dalam foto uang seratus ribu. Yang bahkan dua orang itu saja kemudian hari renggang, karena satunya bahkan mencoba memenjarakan yang lainnya.
Lupakah bahwa umat terbesar bangsa ini juga ikut andil dalam merebut mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa? Bahkan yang disebut-sebut ingin dijaga itu. NKRI itu! Ya! NKRI! Dulu sempat tercerabut, dan dikembalikan lagi oleh seorang perdana menteri muda yang sederhana. Coba siapa dia? Seorang ulama dari umat mayoritas negeri ini. Muhamad Natsir.
Sadarlah bahwa jualan-jualan Anti NKRI yang dilontarkan oleh negara di dalam negara itu basi. Siapa negara di dalam negara itu? Ya! Segerombol orang congkak membopong senjata yang suka dengan biadab mengobrak-abrik rumah pemuda berjenggot. Merenggut kebahagiaan keluarga dengan tudingan Anti NKRI. Dialah gerombolan Delicius 88 yang bahkan pemerintah pun seolah segan menegurnya, membiarkan dan menjadi proyek besar kucuran dana asing. Menukik lagi lagu itu-katanya sedia membela negara kita.
Dan manusia muda masih saja tetap tidur lelap bersama gadgetnya. Dan saling mempertanyakan: Kenapa sih ada saja mahasiswa sok jadi aktivis? Biar apa turun ke jalan? Biar apa demo-demo? Malu-maluin saja! Padahal yang omong itu tiap hari main gadget saja. Mana tahu dia jadi orang miskin. Orang miskin tak punya gadget! Orang muda Ia terlalu lelap dengan lagu-lagu impor dari ginseng dan om syam. Menari jingkrak dengan Despacito dan lupa kalau dia punya peran sebagai penyambung lidah rakyat, agen of change, manusia ilmiah. Ia lupa kalau ilmu juga perlu amal.
Nyatanya yang juga berpendidikan maha pun banyak yang tak jauh beda. Ke-maha-annya malah hanya titel yang membelenggu diri mereka sendiri dalam ruang yang lain. Maha yang muncul di ftv-ftv. Bukan sebagai sesuatu yang membebaskan.
Ah kau! Cukup sudah rasanya aku sebut betapa negeri ini masih carut marut. Segala aspek masih terjajah. Sanggupkah engkau membohongi hatimu lagi dengan mengatakan kita sudah merdeka? Merdeka adalah berdiri di kaki sendiri tanpa merasa takut pada perintah asing.
Sementara itu, jauh-jauh hari seorang bapak tua, dia beragama dengan rasionalitas akalnya. Bapak tua yang menjadi guru tokoh hebat negeri ini sebut saja Hamka, Natsir, Roem bahkan Soekarno. Ia telah mencontohkan betapa gigihnya mempertahakan harga diri bangsa. Dialah Agus Salim.
Biar miskin, aku bebas! Begitu kira-kira katanya.
Suatu hari dia datang ke kantor kejaksaan Belanda dengan baju kumal dan sederhana. Di pintu gerbang dia bertemu dengan seorang pribumi yang bekerja disana. Lalu pribumi itu menyapanya dengan sinis.
“Jika saja kamu mau menerima pekerjaan dari Belanda, kamu tak akan datang dengan baju kumal seperti ini,” ledek pribumi itu.
Agus Salim tidak marah. Dia hanya tersenyum getir. Lalu orang Belanda keluar menemui Agus Salim. Orang Belanda itu memberi hormat pada Agus Salim. Sedangkan pribumi itu ketakutan.
Setelah itu Agus Salim berkata pada pribumi itu: “Seandainya saya menerima pekerjaan dari Belanda, orang itu tidak akan memberi hormat kapada saya. Saya akan seperti kamu, takut saat majikannya datang.”
Begitulah bapak itu mengajari kita. Jangan lupakan kalau orang menganggapnya ulama umat mayoritas bangsa ini. Baginya merdeka adalah mandiri. Meski kita tidak kaya, pantang baginya untuk memelas dan berlindung di ketiak asing. Selama manusia belum bisa memerdekakan dirinya ia akan terus diinjak-injak orang lain.
Dan taukah kamu bahwa Agus Salim adalah manusia yang cerdas, dan cerdas adalah cita-cita bangsa ini. Dan kau tau apa yang membuat bangsa ini cerdas? Ya! Kau tak salah: Pendidikan. []
Referensi:
1. Api Sejarah 2
2. Pemikiran-pemikaran Para Founding Father
3. Berjamaah Walau Tak Serumah
4. Penakluk Badai-Biografi KH. Hasyim Asyi’ari