Oleh: Rohmat Saputra
Anggota Kelas Menulis Islampos
SEMUA sepakat kalau kebaikan adalah sesuatu yang disenangi manusia. Sebagaimana kita pun sepakat sangat benci dengan keburukan. Kita suka jika diperlakukan baik oleh teman, tetangga, dan sanak keluarga. Orang lain pun begitu. Namun sebenarnya kebaikan saja ternyata belum cukup. Dalam Islam, kebaikan tak hanya mendapat timbal balik dari perkara dunia. Tapi juga yang bersifat non materi. Yaitu pahala.
Bila salah seorang melakukan kebaikan dan tidak berislam, maka semua kebaikan dimata Allah akan sia-sia. Memang mungkin dari segi manfaat tentu begitu berarti untuk orang lain. Tapi selama tidak berlandaskan Islam, sebesar apapun kontribusinya, tetap tidak ada artinya dihadapan Allah. Sebab hitungan-Nya bukan sekedar kebaikan. Tapi kebaikan yang selalu bersandar pada Islam.
Mengenai hal ini, perhatikan bagaimana Islam mendudukkan kebaikan yang keluar jauh dari keislaman seseorang. Ada salah seorang yang hidup di jaman Nabi bernama Abdullah bin Jud’an. Riwayat hidupnya tentu membuat kita takjub. Karena kehidupannya penuh dengan daftar kebaikan. Ia biasa memuliakan tamu. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat, kalau ia memiliki piring khusus yang tidak boleh dipakai kecuali oleh para tamu.
Selain itu dia suka menyambung silaturrahim. Walaupun kafir Quraisy dan pembesar tokoh membenci Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat, tapi beliau tidak pernah bersikap seperti itu. Ia juga menjadi orang pertama dalam membantu orang yang sedang dalam kesusahan. Namun itu semua tidak lantas membuat Allah suka dan memasukkannya ke syurga. Padahal satu hal lagi yang harus dia lakukan. Yaitu menerima Islam sebagai agama dan menolak segala kesyirikan. Tapi karena dia tidak melakukan itu, akhirnya semua kebaikan itu hangus tak tersisa dimata-Nya.
Kematian Abdullah bin Jud’an membuat para sahabat sedih. Banyak kebaikan yang ditorehkannya. Sehingga beberapa sahabat bertanya kepada Aisyah, agar Aisyah nanti bisa langsung bertanya kepada Rosul akan kedudukan Abdullah bin Jud’an.
“Abdullah bin Jud’an ada di neraka,” Jawab Rosul.
Semua kebaikan selama hidupnya terhapus. Tak ada nilainya sedikitpun walau nilai disisi manusia sangat besar.
Hal itu tak jauh beda dengan orang yang sangat berjasa dalam dakwah Nabi. Abu Thalib.
Tidak hanya memback Up dakwah beliau dari serangan toko-tokoh Quraisy. Tapi juga ikut merasakan blokade disegala bidang dalam keluarga Hasyim yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Musyrik lainnya.
Saat dipenghujung kehidupannya, Nabi berkata, “
أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”
Beliau sampaikan agar nanti bisa menolong orang yang beliau cintai di akherat kelak. Pamannya pun bisa masuk syurga atas kehendak Allah dengan kalimat tersebut.
Namun ternyata hidayah adalah perkara diluar kemampuan Nabi. Dengan perantara Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah yang berada disampingnya saat itu, paman nabi tetap pada pendiriannya.
Dua gembong musyrikin berkata,
يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthollib?” Ucapan itu terus diulang sampai Abu Thalib mantap pada pendiriannya; Tidak mau meninggalkan agama nenek moyang.
Akhirnya ia mati dalam kemusyrikan. Allah menolak semua kontribusi yang selama ini dilakukan untuk keponakannya. Tak ada ganjaran ataupun kebaikan untuknya. Ia seakan menabur tanah diatas batu licin. Kemudian datang air hujan dan mengguyur batu itu hingga bersih kembali tanpa sisa.
Dari dua kisah diatas, maka baik saja tidak cukup. Banyak perkara penting yang harus lebih diutamakan dari pada sekedar berbuat baik. Bukan berarti kebaikan adalah suatu yang harus dikesampingkan. Tapi ia patut menjadi hiasan luar setelah akar keyakinan kepada Allah menyatu dalam hati. Wallahu a’lam. []