Oleh: Rosadi Alibasa, Direktur Shakira Group
“Bekerja membuat kita hidup, bekerja membuat kita berarti, dan bekerja membuat kita kaya.”
KEMISKINAN merupakan momok paling menakutkan oleh banyak orang, tapi kenyataannya di negeri ini, orang banyak lebih bersahabat dengan kemiskinan.
Sebutlah seorang bapak kaya raya sedang dihadapkan dengan ajalnya. Ketiga anak yang disayangnya menunggu detik-detik terakhir itu dengan haru disamping pembaringan ayahnya. Menjelang menutup mata untuk terakhir kalinya sang bapak memberikan wasiat.
“Anak-anakku,” ujarnya terbata-bata, “Harta kekayaanku sudah aku bagikan dengan rata pada kalian bertiga. Tapi aku masih punya warisan terakhir. Warisan ini sangat berharga. Aku menyimpannya dalam peti di dalam lemari. Janganlah kalian buka kotak itu, hingga suatu hari nanti satu di antara kalian ada yang jatuh miskin, maka kotak itu akan menjadi miliknya.”
Ketiga bersaudara itu saling pandang dan yakin ayahnya meninggalkan berlian serta perhiasan lainnya yang sangat berharga dalam peti itu. Sang ayah pun meninggal dengan tenang.
Ketiga kakak beradik itu hidup dengan damai. Anak pertama diwarisi perusahaan tekstil yang tengah maju pesat. Anak kedua diwarisi perusahaan pertanian yang memiliki hasil panen yang selalu bagus. Anak yang ketiga diwarisi sekolah yang memiliki reputasi baik di negeri itu.
Setahun berlalu. Anak pertama hidup dengan malas-malasan karena perusahaanya maju dan dia merasa yakin seandainya jatuh miskin sekalipun, masih ada warisan yang sangat berharga bisa didapatnya.
Pun anak kedua hidup dengan poya-poya karena panennya selalu menunjukan kualitas terbaik. Dia memiliki pikiran yang sama dengan anak yang pertama.
Berbeda dengan anak ketiga. Dia bekerja dengan tulus memberikan sumbangsih dalam dunia pendidikan. Meski menjadi pemilik sekolah, tetapi sesekali dia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan para bawahannya, bahkan tukang kebunnya.
Suatu masa, negeri yang mereka tempati yang notabene subur tetapi kehidupan rakyatnya sangat tergantung pada negera-negara luar, tertimpa bencana. Produk-produk tekstil tidak diterima lagi di luar negeri. Berlimpahnya hasil pertanian di negeri tetangga yang mengakibatkan harga beras di dalam negeri, anjlok drastis. Akhirnya kedua kakak beradik jatuh miskin.
Berkumpulah ketiga bersaudara itu di tempat sang adik bungsu karena hanya dialah yang masih memiliki banyak kekayaan.
“Adik-adikku” ujar kakak pertama, “kini aku paling miskin di antara kalian, jadi aku minta persetujuan pada kalian berdua untuk mendapatkan hak atas warisan dalam peti yang pernah ayah tinggalkan.”
Kakak kedua menukas cepat, “Aku yang lebih berhak, sebab aku lebih miskin dari kamu, Kak!”
Saudara yang pertama mendebatnya. Kericuhan pun tak terelakan.
Akhirnya si bungsu memberikan saran jalan tengah, dengan cara membagi dua isi peti warisan dari sang ayah. Kedua kakaknya pun setuju.
Dibukalah peti tersebut dengan disaksikan ketiga bersaudara. Ketika peti itu terbuka, ternyata mereka tidak menemukan apa-apa selain marmer yang bertahtakan tulisan “Kalian Harus Bekerja”.
Ayah yang kaya raya itu meninggalkan banyak warisan materi terhadap anak-anaknya. Tapi hanya satu anaknya yang mewarisi kebijakan hidup. []