“IBU…”, Fauziah, gadis mungil berusia tiga tahun berlari-lari memanggil ibunya. Mendapati yang dipanggil sedang sholat maghrib, serta-merta Si ‘pipi tembem’ itu masuk ke dalam mukena ibu tercintanya. “Bu… ikut sholat,” ujarnya manja. Dari dalam mukena, ia ikuti seluruh gerakan sang ibu sambil tertawa-tawa dengan suara khasnya.
Hambali, kakak kandungnya (5 tahun) juga sebelas-dua belas dengannya ketika diajak ayahnya sholat maghrib berjama’ah di masjid yang ada di kompleks perumahan. Saat ayahnya berdiri roka’at pertama memang ia masih diam. Tapi ketika sujud, mulailah Hambali ‘beraksi’.
Bersama teman sebaya yang berdiri di sampingnya, ketika ruku’, mereka saling menginjak kaki lalu senggol-senggolan. Ketika pinggulnya saling beradu “dug”, seketika mereka tertawa-tawa cekikikan. Lain waktu mereka berlari-lari, kejar-kejaran seolah barisan sholat itu pembatas mainan mereka.
Percuma rasanya ikhtiar menjauhkan mereka. Saat orang tuanya tengah sholat, mereka bagai magnet yang saling mendekat kembali meski berkali-kali salah satu dari mereka menangis bergantian karena bertengkar beneran.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar kita pernah merasakannya. Mulai dari ditunggangi saat sujud, sampai suara jerit tangis anak yang menarik-narik mukena ibunya ketika shalat. Meski lain bentuk lain rupa, tapi intinya tetap sama, di mata kita anak-anak terlihat sebagai pengganggu kekhusyu’an sholat kita. Karena tingkah laku anak itu, jadilah akhirnya kita sekuat tenaga menahan jengkel atau mungkin tawa. Lebih kerepotan lagi jika situasinya sedang berjama’ah di masjid, misalnya.
Menurut Bariah Rachman, Psi., seorang psikolog lulusan Universitas Indonesia, ketika anak berusia 2-5 tahun mereka cenderung seperti itu dan belum sepenuhnya dapat berkonsentrasi. Shalat dianggap sesuatu hal yang ‘aneh’ bagi mereka sehingga jangan heran jika mereka sering bermain-main bersama orangtua atau temannya yang sedang shalat.
Meskipun begitu, orangtua jagan membiarkan hal ini terus menerus. Sebagai orangtua harus bisa memberikan pemahaman kalau bermain dengan orang yang shalat itu suatu hal yang sangat mengganggu.
Karena anak usia di bawah 5 tahun memiliki daya abstraksi yang masih rendah, sehingga mungkin kurang tepat jika mereka diberi penjelasan tentang konsep sholat dengan panjang-lebar. Maka dalam memberikan penjelasan harus memakai pola ini ‘Anak-anak belajar apa dari apa yang mereka lihat bukan dari apa yang mereka dengar’.
Misal dengan kata-kata, “Bang, kalau Ayah sholat ‘kan diam saja. Jadi, Abang juga harusnya diam seperti Ayah, ya?! Bisa ‘kan?”
Atau dengan kata-kata “Dek, lihat tuh mbak Gita kalau sholat tidak bicara dan tidak lari-lari. Adek juga tidak bicara dan tidak lari-lari ‘kan?”
Dengan mengambil contoh ‘kakak’ tadi, anak akan merasa ada kesamaan antara si ‘kakak’ dengan dirinya. Kalau yang dicontohkannya adalah ibu atau ayahnya mungkin anak akan berpikir, ‘Ayah bukan aku’, atau ia menganggap ‘Ibu raksasa’.
Hindari Memarahi
Apa yang akan Anda lakukan ketika anak terus-menerus mengulang perbuatannya mengganggu orang dewasa yang tengah sholat? Mungkin sebagian dari kita menganggap wajar kalau anak harus diberi ‘pelajaran’ dengan memarahinya. Namun sebisa mungkin harus menghindari untuk memarahi anak, karena memarahi bukanlah satu-satunya solusi.
Dalam sebuah kisah diceritakan, Ketika Rasulullah dipipisi oleh anak kecil, ibu dari anak tersebut langsung memarahi anaknya. Rasulullah yang melihat hal itu bukannya gembira, beliau malah menegur ibu tersebut dengan berkata, “Baju yang terkena kencing dapat dicuci. Tapi hati seorang anak yang terluka tidak dapat diobati.”
Pengondisian Sholat
Apa yang kita alami mengenai ‘gangguan’ anak terhadap kita ketika sholat sebetulnya adalah hal yang wajar dan biasa seperti halnya Rosululloh yang juga pernah mengalaminya. Seperti dikisahkan ‘Abdillah ibn Sayyid, Rosululloh misalnya pernah sholat bersama sahabat. Tiba-tiba datanglah cucunya, Husain. Sang cucu naik ke atas punggung Rosululloh ketika beliau tengah sujud. Apa yang dilakukan Rosululloh? Alih-alih melepaskan cucunya, yang terjadi kemudian Rosululloh malah memanjangkan sujudnya sehingga para sahabat mengira telah terjadi sesuatu. “Saya tak ingin mengejutkannya (Husain) sehingga ia merasa puas dengan perbuatannya,” kata Nabi ketika ditanya mengapa sujud beliau dipanjangkan (Nasa’i dan al-Hakim dalam al-Ihya’).
Subhanalloh!
Jadi, sekarang rasanya tak cukup menjadi alasan untuk memarahi anak sekalipun ia ‘mengganggu’ sholat kita. Tinggal bagaimana kita mengondisikan diri agar kita tidak terbawa emosi. Misalnya sebelum shalat kita memenuhi hajat si anak seperti buang air kecil atau buang air besar, menjauhkan barang-barang yang mudah pecah dari jangkauan anak, bisa juga dengan meletakkan mainan favoritnya (yang tidak berbahaya, tentunya) di dekat kita (ketika kita shalat berjama;ah) sehingga ia tidak berkeliaran.
Jika ingin membawa anak ke masjid untuk sholat berjama’ah, maka kita harus mengalah untuk berada di shof belakang sehingga tidak mengganggu jama’ah lain.
Biarkan anak menganggap shalat sebagai ‘permainan’ rutin yang menyenangkan, sehingga ketika usia 6 atau 7 tahun, yaitu saat mereka sudah memiliki daya abstraksi yang baik, maka tidak akan sulit untuk memberikan pemahaman konsep sholat kepada anak. Sebagaimana Rosululloh SAW. yang membiarkan kedua cucunya, Hasan dan Husain ‘menunggangi’ punggungnya ketika sujud, dan baru menyelesaikan sujudnya setelah kedua cucunya puas bermain-main. []
Sumber: Majalah Auladi No. 09 Th. 1/2005