Oleh: Bagas Triyatmojo
MUNGKIN kita sudah tidak asing dengan dialog seperti ini.
A : Wah, anaknya lucu ya Bu? Sudah berapa bulan?
B : Sudah 90 hari Bu.
A : Ooh waktu itu anak saya pas 3 bulan sudah mulai tengkurap Bu, terus mulai bisa jalan sekitar 11 bulan (misalnya)
Atau mungkin dialog lainnya,
B : Wah Pak, anaknya pintar ya, masih kecil sudah bisa banyak hal.
A : Iya, dari umur 2 tahun dia sudah belajar baca dan hitung, terus sewaktu 3 tahun belajar bernyanyi. Anak Bapak gimana?
B : ….
Atau mungkin cerita lainnya,
A : Eh coy, lo udah bisa naek motor belom?
B : Belom gan.
A : Ah masa udah SMA belom bisa naek motor, gue aja dulu udah bisa dari kelas 6 SD.
Mungkin secara tidak sadar kita terjebak dalam kebiasaan membandingkan. Membandingkan antara kita dengan orang lain. Membandingkan antara anak kita dengan anak orang lain.
Sungguh, setiap anak, setiap orang, setiap pribadi, berbeda. Ada yang cepat belajar. Ada yang tidak. Namun cepat tidak selalu lebih hebat. Pun lambat tidak membuatnya jadi cacat.
Maka membandingkan, bukanlah sesuatu yang perlu disampaikan, cukup dijadikan bahan renungan diri.
Bisa jadi, dalam hati seseorang yang kita bandingkan, ada sesuatu ketidaknyamanan,
namun enggan untuk diutarakan.
Membandingkan dengan orang lain, bisa jadi menimbulkan iri hati, dengki, penyakit hati.
Namun bila masih suka membanding-bandingkan juga, Maka mungkin lebih baik membandingkan diri dengan diri sendiri. Sudahkah lebih baik dari kemarin hari?
Jangan jangan kita sibuk dengan orang lain, namun lupa akan diri sendiri. []