Oleh: Nila Husandi, Dosen Institut Teknologi Padang
TAHUN 1996, ketika aku genap berusia 12 tahun, aku memutuskan mengenakan jilbab untuk menutup aurat. Menjadi satu-satunya siswi di sekolah yang mengenakan jilbab menimbulkan berbagai reaksi.
Banyak yang mendukung, namun tak sedikit yang mencemooh. Prediksi kudisan, panuan, dan botak hinggap sebagai kemungkinan alasan keputusanku. Hingga ada yang mencap sok alim dan melempariku dengan kerikil. Saat itu aku bisa bertahan dan menang. Lalu, 16 tahun kemudian, jilbab ternyata menjadi trend hingga menjamurlah Hijab Community.
Tahun 2002, pertama kalinya aku memiliki gamis dan mengenakannya ke kampus. Belum ada yang melakukannya di kampusku, dan dengan sukses penampilanku dicap seperti emak-emak. Padahal seorang teman di Jakarta mengenakannya ke kampus dalam kesehariannya, dan tak ada masalah. Ini Padang, dan mereka masih awam pada hal itu, dan kali itu aku kalah.
Baru di tahun 2008 keberanianku kembali muncul, dan mulai mengenakannya ke kampus. Kali ini aku tak sendiri, ada seorang teman yang telah pergi haji dan selalu mengenakan gamis. Pun demikian, komentar miring tetap muncul. Gamisku dikatai “baju pinjaman” karna menurut mereka kebesaran. Aku hanya tersenyum. Mereka salah menilai gamis sebagai gaun malam yang super ketat.
Lalu apa yang terjadi empat tahun kemudian? Wanita menggunakan gamis menjadi pemandangan awam dimana-mana. Menguap kemana komentar-komentar mereka? Yang dulunya mengomentari negatif malah sekarang tak mau kalah ketinggalan mengenakan gamis.
Lalu, 2012 menjadi tahun dimana aku berjuang mencoba mulai menutupi auratku dengan lebih sempurna, termasuk mulai benar-benar meninggalkan celana, terutama jeans. Lalu, adakah komentar miring seperti yang sudah-sudah? Banyak! Aku sudah bertekad tak kan lagi kalah seperti pengalamanku di tahun 2002. Semoga Allah SWT membantuku untuk tetap istiqamah.
Hey, aku berpakaian “begini” mungkin masih terlihat janggal di mata kalian, itu wajar, tapi cobalah tahan dulu komentar-komentar itu yang sangat ingin kalian lontarkan. Siapa tau 10 tahun ke depan pakaian yang “begini” malah jadi trend dan kalian yang haus trend malah berlomba-lomba mengenakannya? Who knows? Apa tak menjijikkan menjilat ludah sendiri? []