APA yang menarik dari pengalaman pribadi saya ini? Menurut saya, praktisi kesehatan yang memeriksa pasiennya masih menganut paradigma lama dalam dunia kedokteran yang senantiasa melihat suatu penyakit semata-mata dari aspek fisiknya saja.
Memang, ada sebagian dokter yang selama bertahun-tahun telah dididik untuk memisahkan emosi dari penyakit fisik. Mereka mengabaikan peran pikiran dan emosi dalam menimbulkan dan menyembuhkan penyakit. Ilmu kedokteran konvensional hanya berfokus untuk menyembuhkan gejala fisiknya.
Padahal, banyak sekali penyakit yang berkaitan dengan emosi. Menurut penelitian American Institute of Stress, antara 75-90% dari semua kunjungan pasien ke dokter untuk mendapatkan perawatan pertama merupakan akibat dari masalah yang berhubungan dengan stress. Namun, dari sudut pandang medis penanganan untuk stress biasanya sangat dangkal.
Ada sebagian dokter yang melihat pasien sebagai serangkaian bagian yang akan disembuhkan dan bukan sebagai manusia yang utuh. Di sinilah letak masalahnya. Ketika kita mengidentifikasikan bagian-bagian tubuh berdasarkan fungsinya – jantung hanyalah sebuah pompa, perut adalah kantong, pendengaran adalah akibat dari beberapa tulang yang bergetar di kepala, dan otot adalah katrol. Kita gagal memahami manusia secara utuh, yaitu manusia yang lebih besar daripada sekedar jumlah bagian-bagiannya. Kita hanya memahami bagaimana setiap bagian tubuh itu bekerja. Ini membuat kita kehilangan perspektif yang lebih besar. Kita melupakan proses yang terjadi secara keseluruhan. Kita tidak melihat hubungan antara pikiran dan semua penyakit fisik. Padahal, keduanya memiliki korelasi yang sangat erat.
Perkembangan dalam ilmu kedokteran kini telah berangsur-angsur beralih kepada cara pandang yang lebih holistik kalau kita bandingkan lebih mendekati thibbunnabawi ‘pengobatan cara Nabi, yaitu mengobati pasien dengan sebuah pandangan yang utuh. Dalam hal ini, pasien dilihat dari perspektif yang menyeluruh, yaitu tubuh, pikiran, dan ruh (body, mind, and soul).
Untuk melakukan penyembuhan yang sempurna, tidak ada bagian yang bisa diabaikan. Ilmu kedokteran holistik tidak mengabaikan bakteri, virus, atau penyebab penyakit apapun yang bersifat fisik. Namun pendekatan holistik menggabungkan hal ini dengan pengetahuan mengenai pengaruh pikiran dan emosi.
Jadi, hal ini merupakan penggabungan antara pendekatan tradisional dan nontradisional yang disebut oleh Dr. Robert Atkins—dalam bukunya Health Revolution—sebagai ilmu kedokteran komplementer. bila kita lihat dalam sejarah dunia Islam pengobatan yang sifatnya holistik bukan barang baru lagi bahkan Rasululloh Saw sebagai contoh nyata manusia yang sehat yang tercatat dalam sejarah dan bila dihitung dalam literatur Hadis Rasululloh itu dalam hidupnya hanya mengalami sakit hanya 3 kali.
Para pakar pengobatan modern sudah ada yang melakukan pendekatan holistik ini benar-benar memperlakukan pasiennya sebagai manusia seutuhnya. Mereka menyempatkan diri untuk berbicara dengan si pasien, benar-benar mendengarkan pikiran mereka, serta menyelidiki komponen emosional setiap gejala yang dialami pasien. Seorang dokter holistik sejati mengerti bahwa berbicara mengenai segala sesuatu akan membantu mencegah atau menghilangkan gejala fisik yang berhubungan dengan sebuah pengalaman emosional.
Pikiran memang memainkan peranan yang sangat penting dalam kesehatan kita. Dokter Ronald J. Glasser dalam The Body Is the Hero menulis, “Kita tahu, meskipun para dokter bedah dan internis kita tidak tahu bahwa kita terhubung dengan tubuh kita, bahwa tertahannya pernapasan kita ketika kita terkejut, ketegangan di dalam diri kita ketika kita merasa khawatir, kelelahan yang kita rasakan akibat kecemasan kita, merupakan bagian yang sama porsinya pada penyakit kita seperti bakteri, virus, dan antibodi yang menyerang kita, dan sesungguhnya bisa sama melemahkan dan sama mematikannya.”
Mengenai bagaimana pikiran dapat mempengaruhi reaksi tubuh, fisikawan dan psikolog Buryl Payne, Ph.D., menulis, “Kita tahu bahwa pikiran yang muncul di dalam otak mengaktifkan sekresi hormon dan merangsang pusat-pusat saraf lainnya di dalam tubuh. Pikiran yang disandikan sebagai impuls-impuls saraf berjalan di sepanjang akson-akson saraf, mengaktifkan otot dan kelenjar seperti pesan telepon yang berjalan melalui kawat dalam bentuk-bentuk sinyal-sinyal listrik. Eksperimen-eksperimen dengan GSR, sebuah alat umpan balik biologis yang ditempelkan pada jari-jari tangan atau jari-jari kaki menunjukkan dengan jelas bahwa kegiatan mental mencapai bagian ujung tubuh.”
“Dengan alat-alat EMG yang peka, kita dapat menunjukkan bahwa otot-otot menjadi aktif ketika kita berpikir mengenai apa saja yang melibatkan tindakan atau emosi, meskipun mungkin tidak ada gerakan yang jelas. Meskipun kita tidak tahu bagaimana pikiran timbul di dalam otak, tampaknya jelas bahwa setelah timbul, pikiran diperkuat oleh otak dan diubah menjadi tindakan. Setiap pikiran yang kita pikirkan mempengaruhi berjuta-juta atom, molekul, dan sel di seluruh tubuh. Selain efek langsung terhadap tubuh fisik ini, kita tahu dari prinsip-prinsip umum fisika bahwa setiap percepatan elektron akan menghasilkan radiasi elektromagnetik tertentu.”
Jadi, psikosomatis; aren’t you? Semoga tidak.
Catatan: Psiko artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, Psikosomatis artinya penyakit yang timbul yang disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang. Penyakit ini juga disebut penyakit akibat stress. []
Diasuh oleh Oleh: Yudhistira Adi Maulana, Penggagas rumah sehat Bekam Ruqyah Centre Purwakarta yang berasaskan pengobatan Thibbunnabawi. Alamat: Jl. Veteran No. 106, Kebon Kolot Purwakarta, Jawa Barat, Telf. 0264-205794. Untuk pertanyaan bisa melalui SMS 0817 920 7630 atau PIN BB 26A D4A 15.