DR. Yusuf Hanafi, Magister Filsafat Islam, dkk dalam bukunya Pendidikan Islam Transformatif (2014:98) mengemukakan, “Negara Jerman yang penduduknya beragama Nasrani, kini memilih jalan yang ditempuh Islam, kendati agamanya sendiri mengharamkannya, yaitu poligami. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk melindungi perempuan Jerman dari perbuatan lacur dengan segala akibatnya, dan bahaya banyaknya anak pungut.”
Hal di atas tentu menarik untuk dikaji, selama ini salah satu yang dipersoalkan dalam ajaran agama Islam terutama memuat diperbolehkannya poligami. Banyak kalangan menganggap poligami yang termuat dalam kitab Al-Qur’an tidak menghargai perempuan. Padahal Muhammad Ali Ash-Shobuni salah satu pemikir Islam dalam karyanya Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni (2008:309-312) menyatakan, “Poligami (dalam Al-Qur’an) adalah tuntunan hidup, karena sewaktu Islam datang dijumpai kebiasaan menikah tanpa batas dan tidak berkemanusiaan, lalu diatur dan dijadikannya obat. Ketika itu banyak laki-laki beristrikan 10 orang atau lebih sebagaimana dalam hadis Ghailan yang ketika masuk Islam mempunyai 10 istri.”
Lebih lanjut dinyatakan pula, Islam berbicara yang dikhususkan untuk laki-laki bahwa ada batas yang tak boleh dilalui yaitu empat orang dengan ikatan dan syarat yaitu adil terhadap semua istrinya. Adil dalam konteks ini adalah nafkah fisik. Apabila tidak bisa adil, maka seseorang hanya diperbolehkan menikah dengan seorang saja.
Dengan demikian, paparan yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an tentu harus ditelaah dengan lebih bijaksana. Perempuan dibela haknya agar tidak dijadikan komoditas seksual tanpa tanggungjawab yang memadai. Ketika banyak yang kurang berterima dengan poligami tidak lantas mengesampingkan adanya tujuan jelas yang termuat dalam kaidah-kaidah poligami itu sendiri.
Terlepas dari polemik yang mengemuka, ada fakta menarik lain mengenai populasi perempuan yang diperkirakan lebih banyak dari laki-laki. Dalam penelitian yang dipublikasikan Prosiding National Academy of Sciences menunjukkan, kemampuan bertahan hidup perempuan lebih baik justru setelah lahir. Artinya risiko meninggal di kandungan pada janin perempuan sebenarnya justru lebih besar.
Mengutip ujaran peneliti senior Fresh Pond Research Institute di Cambridge, Steven Orzack pada Healthday News, “Mestinya lebih banyak perempuan meninggal selama kehamilan dibandingkan laki-laki. Namun setelah dewasa, kemampuan bertahan hidup mereka lebih baik.” Dari paparan tersebut timbul sebuah tanya, apa jadinya kalau perempuan tidak dibela haknya agar halal dinikahi sampai dengan empat namun dengan aturan yang jelas, bisa-bisa perselingkuhan atau pelacuran hanya demi pemenuhan kebutuhan seksual akan merajalela, karena populasi perempuan sukar dibendung bahkan secara medis sekalipun.
Apabila demikian fakta yang terjadi, selaku umat Islam harus lebih waspada, sebab Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, bersabda, “Di antara tanda-tanda dekatnya hari Kiamat adalah sedikitnya ilmu (tentang Ad-Dien), merajalelanya kebodohan dan perzinahan, dan sedikitnya kaum laki-laki, sehingga lima puluh orang wanita hanya terdapat satu orang pengurus (laki-laki) saja,” (Hadist Riwayat Al-Bukhari nomor 81-tartin maktabah Sahab, Muslim No. 2671, dan At-Tirmidzi nomor 2205).
Oleh sebab itu, jangan gegabah menerjemahkan pembolehan poligami dalam pandangan Islam merendahkan derajat perempuan. Justru pembolehan ini menjadi sebuah temuan agar umat manusia mengerti perempuan butuh diperlakukan adil. Sehingga jangan menggampangkan poligami hanya untuk pemuasan birahi namun ada hal-hal yang bersifat mutlak menyangkut bagiamana caranya agar perempuan-perempuan yang dinikahi tidak terzalimi.
Sebagai penutup, M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat menyatakan (2000:234), “Perlu digarisbawahi bahwa Al-Qur’an (QS. 4:3) tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak ‘mewajibkan’ poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara bolehnya poligami dan itupun pintu kecil yang dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.”
Dengan demikian, selaku laki-laki harus benar-benar sadar adanya tanggungjawab mental, moral, finansial serta religiusitas yang harus dijalankan sebelum memutuskan poligami. Sesungguhnya tujuan poligami adalah untuk melindungi kaum perempuan, bukan menjajahnya atas nama birahi.
Kepada kaum istri, jika memang suami mengajukan niat poligami tunjukkan dahulu syarat-syarat yang mesti dipenuhi olehnya, jangan menerima dengan pasrah. Bila syarat terpenuhi dan ikhlas menerima, sesungguhnya hal yang demikian akan bernilai ibadah. Sebab turut memuliakan harkat dan martabat perempuan yang membutuhkan imam rumah tangga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. []
Arief Siddiq Razaan, 06 Januari 2016