TANYA: Ustadz, apabila seorang istri punya suami yang tidak pernah memberi nafkah lahir ataupun batin, bahkan sering memukuli istrinya, apa yang harus dilakukan sang istri untuk bisa lepas dari kezaliman suaminya?
APABILA suami tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, seorang istri bisa mengakhiri pernikahannya dengan mengajukan tuntutan khulu’ atas suaminya melalui pengadilan di dalam wilayah Khulu’ secara bahasa artinya menanggalkan dan melepaskan.
Disitat dari Percikan Iman, Khulu’ merupakan cara yang ampuh untuk melepaskan ikatan perkawinan yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaannya mengembalikan mas kawin yang pernah diterima dari suaminya. Khulu’ sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang diajukan oleh pihak istri didasarkan pada firman Allah Swt. dalam surat Al Baqarah ayat 229 yang artinya, “…Jika kamu khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, keduanya tidak berdosa apabila istri mengembalikan mahar yang pernah diterimanya sebagai tebusan dirinya…”
Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama adalah sabda Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban tentang kasus istri Sabit bin Qais yang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw. mendengar seluruh pengaduan tersebut, Rasulullah Saw. bertanya, “Maukah kamu mengembalikan mas kawinnya?” Istri Sabit menjawab, “Mau.” Lalu Rasulullah Saw. berkata kepada Sabit bin Qais, “Ambillah kembali kebun engkau dan ceraikanlah ia satu kali.”
Berdasarkan hadis ini, disunahkan seorang suami mengabulkan permintaan istrinya. Tuntutan khulu’ tersebut diajukan istri karena ia merasa tidak akan terpenuhi dan tercapai kebahagiaan di antara mereka, seperti yang diungkapkan oleh istri Sabit bin Qais dalam riwayat tersebut, yakni, “Saya tidak mencelanya karena agama dan akhlaknya, tetapi saya khawatir akan muncul suatu sikap yang tidak baik dari saya disebabkan pergaulannya yang tidak baik.” Alasannya adalah pergaulannya yang tidak serasi dengan suaminya. Agar keadaan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat menjerumuskan rumah tangga mereka pada keadaan yang tidak diinginkan Islam, istri Sabit melihat lebih baik mereka bercerai.
Dalam keadaan seperti itu, menurut Ibnu Qudamah, ahli fikih Mazhab Hambali, keduanya lebih baik bercerai. Akan tetapi, jika istri tidak memiliki alasan yang jelas, ia tidak boleh mengajukan khulu’, karena Rasulullah Saw. mengingatkan dalam sabdanya, “Wanita mana saja yang menuntut cerai pada suaminya tanpa alasan, diharamkan baginya bau surga.” ( H.R. Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Menurut ulama fikih, penyebab terjadinya khulu’ antara lain adalah munculnya sikap suami yang meremehkan istri dan enggan melayani istri hingga senantiasa membawa pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini, Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut dengan menempuh jalan khulu’. Inilah yang dimaksudkan Allah Swt. dalam fi rman-Nya pada surat An-Nisā’ [4] ayat 128 yang artinya, “Jika seorang wanita khawatir suaminya berlaku nusyūz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka…”
Perdamaian dalam ayat ini dapat dilakukan dengan mengakhiri hubungan suami-istri melalui perceraian atas permintaan istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar yang telah diberikan ketika akad nikah berlangsung. Kesimpulannya, apabila istri dizalimi suami, misalnya sering dipukuli, tidak diberi nafkah lahir atau batin, istri bisa mengajukan khulu’ kepada suaminya dengan cara mengembalikan maskawin yang pernah diterimanya. Wallahu A’lam. []