Oleh: Muhamad Ridwan
“Masalah utama yang menimpa masyarakat Islam hari ini, harus difahami dengan menyimak latar belakang konfrontasi sejarah yang terus menerus oleh kebudayaan dan peradaban Barat terhadap Islam…”[1]
Sulit ditaklukkan lewat perang fisik, umat Islam dilemahkan dengan pandangan dan pemikiran. Meskipun diantara Islam dengan Barat terdapat persamaan, tetapi secara mendasar saling bertentangan.
“Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.”[2] Perbedaan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat dikompromikan terhadap Islam.
Lebih jauh lagi, Barat melalui universitas-universitasnya mendirikan kajian-kajian keislaman berdasarkan pandangan hidupnya alias versi mereka sendiri.
Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa dunia pemikiran Islam di Indonesia sebenarnya mulai memasuki “wajah baru” menyusul membanjirnya arus dan pola pemikiran Barat dalam studi keislaman (Islamic Studies).
Berbagai perguruan tinggi menawarkan program Islamic Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Banyak sarjana Islam berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar Islam. Mereka kemudian kembali dan mempromosikan gagasan dan metodologi Barat dalam studi Islam.[3] Dengan demikian, pandangan Barat disebarkan oleh umat Islam sendiri, oleh bangsa sendiri pula.
Setelah itu, perguruan tinggi di Indonesia di-westernisasi, khususnya perguruan tinggi Islam. Salah satu tokoh pembaratan tersebut adalah Harun Nasution. Kata
Rasjidi: “Menurut penilaian saya, Harun Nasution kurang kritis dalam menerima kuliah di universitas itu (Universitas McGill, Kanada, *pen.)
Di Islamic studies, di negara-negara Barat, pengaruh orientalisme pada umumnya besar.” Maka, menurut Rasjidi, kalaupun terpaksa mengirim tenaga dosen ke Barat, mestinya tidak terlalu banyak-banyak. Tapi, pada akhir 1980-an, Rasjidi mengakui pengaruh pemikiran Harun Nasution di IAIN Jakarta sudah cukup besar, meskipun juga ada pro-kontra-nya.[4]
Dr. Syamsuddin Arif mengatakan bahwa mereka, orang Barat pengkaji Islam yang berstatus guru besar ini kebanyakan tak beriman, meski ada beberapa yang masuk Islam. Orientalis—sebutan mereka—berani mengklaim bahwa mereka lebih mengetahui Islam ketimbang umat Islamnya sendiri. “Dia (Snouck Hurgronje, orientalis Belanda di Indonesia zaman penjajahan, *pen.) ingin memperlihatkan kepada umat Islam tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang Muslim.[5]
Akibatnya kita lihat hari ini banyak umat Muslim yang berpandangan hidup ala Barat seperti memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari yang mencakup politik, ekonomi, hukum, dan lainnya; sikap longgar dan semena-mena dalam beragama; mendewakan HAM tanpa batasan Islami; meragukan otentisitas wahyu; menganggap Al-Quran tak sesuai perkembangan zaman; memandang negatif dan keliru terhadap syariat Islam seperti hudud, poligami, jihad, dan sebagainya; mengatakan semua agama benar; meragukan otoritas ulama; menuntut kesetaraan gender; melegalkan LGBT; menjadikan standar kebenaran dan kepantasan berdasarkan kebiasaan atau apa yang dianggap lumrah di masyarakat, misalnya ketika perzinaan sudah biasa terjadi, maka hal tersebut ia anggap wajar dan boleh; dan sebagainya.
Agar kebal terhadap virus ini, umat Islam perlu memperkuat akidahnya dan menanamkan konsep atau cara pandang Islam terhadap realitas (kebenaran) ke dalam benaknya.
Dr. Syamsuddin Arif mengatakan: “Kita harus mengenal diri kita, mengenal agama kita, tradisi intelektual kita secara mendalam dan menyeluruh, kalau bisa. Kita harus punya self confidence, atau” pede” kata anak sekarang. Tidak minder dan silau melihat pencapaian orang Barat. Kita juga harus melawan mereka dengan cara-cara yang rasional dan ilmiah. Sekarang ini hegemoni politik, ekonomi, dan budaya sudah di tangan mereka. Dalam bidang keilmuan dan intelektual, mereka juga berhasil menciptakan imej bahwa otoritas ada pada mereka. Bahwa mereka lebih pakar dan lebih tahu tentang Islam daripada orang Islam sendiri. Menurut saya, salah satu langkah konkret untuk meng-counter upaya-upaya seperti yang dilakukan oleh Luxenberg (orientalis, *pen.) adalah dengan memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah Islam, sejarah Al-Qur’an, sejarah hadits dan hukum Islam, serta mempelajari sejarah Kristen dan Yahudi (orientalis banyak berasal dari umat Kristen dan Yahudi. Sikap mereka bias terhadap Islam dan melakukan pembenaran terhadap agama mereka. Untuk melawannya, mesti belajar sejarah agama mereka., *pen.), plus menguasai bahasa-bahasa semitik selain Arab, seperti Hebrew, Aramaic, dan Syriac.”[6]
Beliau menjelaskan lagi bahwa kelemahan kita, mereka (Barat) menguasai segudang bahasa, semitik maupun non-semitik, sementara kita tidak. Sehingga mereka bisa mengatakan, “What you know, we know. What we know, you don’t know!” (Yang ente tau, ane tau. Tapi yang ane tau, ente kagak tau).[7]
Allah SWT berfirman:
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَّذِى جَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِىٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan pernah rela kepadamu hingga kamu mengikuti millah (agama) mereka. Katakanlah, Sesungguhnya petunjuk Allah (Islam) itulah petunjuk (yang sesungguhnya, sedangkan yang selainnya hanyalah kesesatan belaka.) Sesungguhnya, jika kamu ikuti keinginan mereka (yakni apa-apa yang mereka anjurkan) setelah datangnya pengetahuan (wahyu) kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan tidak pula menolong.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 120)
________________________________
Referensi:
- Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, Dr. Usep Mohamad Ishaq, Dr. Wendi Zarman, dkk., (Bandung: PIMPIN, 2010), h. 121.
- Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terj. Dr. Hamid Fahmy dkk., sunt. Abd Syakur Dj., (Bandung: Mizan, 2003), h. 115.
- Dr. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. xxiv-xxv.
- Ibid., h. 70.
- Dr. Qasim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, (Jakarta: Gema Insani, 1996), h. 138.
- Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani), h. 288-289.
- Ibid.