Kemarin, lima orang yang berpenampilan “serba menakutkan” menyapa saya. Salah seorang diantara mereka berkata, “Pak, boleh kita berdiskusi sebentar?”
“Boleh, silakan,” jawab saya.
Saya istilahkan “serba menakutkan” karena masih banyak orang di negeri ini yang mendahulukan sangka buruk ketika berpapasan atau berjumpa laki-laki muslim yang berjubah, berjanggut, dan bersorban. Sebetulnya, sangkaan buruk itu tertuju kepada kaum muslimin secara keseluruhan. Baik yang berjubah dan bersorban, maupun yang berpenampilan biasa saja.
Saya agak heran, semula mereka mengajak saya berdiskusi. Tapi, akhirnya menjadi curhat “satu arah”. Saya sepertinya disuruh mendengarkan saja apa yang mereka tumpahkan. Berikut ini saya rangkumkan curhat mereka itu.
Alhamdulillah, pembantaian sadis terhadap warga muslim Rohingya oleh para teroris-ekstremis berpenampilan orang Budha di Myanmar, membuat kami di Indonesia bangga berjubah. Bangga berjanggut. Dan bangga bersorban. Kami bangga karena kami tak sampai seperti mereka. Bahkan, tak berniat sedikit pun untuk menyakiti saudara setanah air kami yang beragama lain, termasuk agama Budha. Padahal, banyak orang yang menyangka kami ini seram, sangar, bengis.
Selain itu, kami bangga berjubah, berjanggut dan bersorban, karena selama ini Tuan Guru Bangsa, Prof Syafii Maarif, sangat tidak suka dengan orang yang berpenampilan seperti kami ini. Beliau itu mengatakan kami “preman berjubah”. Tidak sekali-dua beliau ucapkan itu. Kalau beliau diundang untuk berceramah, biasanya kebenciannya terhadap orang yang berjubah akan menjadi salah satu “the best quote of the speech” di dalam rangkaian ceramah beliau.
Alhamdulillah, yang kami lakukan selama ini tidaklah seburuk yang diduga oleh Tuan Guru. Belum pernah kami lukai saudara setanah air kami, baik umat Budha maupun umat agama lainnya karena “kepremanan” kami. Kalau pun ada diantara kami yang bertindak tegas untuk mencegah perbuatan maksiat, sesungguhnya itu kami lakukan tanpa menyentuh fisik para pemilik tempat maksiat.
Saya biarkan saja mereka mengeluarkan uneg-unegnya. Siapa tahu, mereka memang sudah lama ingin menyampaikan perasaan secara terbuka. Mereka pun melanjutkan curhat.
Sewaktu kami laksanakan aksi-aksi damai di Jakarta tempohari, kami merasa sedih karena orang-orang yang tak suka Islam menuding kami tidak toleran. Menuding kami anti-keberagaman. Melecehkan aksi kami sebagai demo yang berjilid-jilid. Meskipun kami lakukan dengan tertib, dengan biaya sendiri, dan tanpa merusak suasana sekitar.
Tetapi, alhamdulillah setelah genosida di Myanmar terajadi, terasalah bahwa kami masih memiliki perikemanusiaan ketimbang para pembantai Rohingya yang mengaku diri sebagai biksu. Terasa bahwa aksi-aksi yang diikuti umat Islam yang berjubah-berjanggut tempohari, jauh lebih mulia dibandingkan penyiksaan, pembacokan, pemerkosaan yang dilakukan terhadap warga Rohingya oleh para pelaku yang mengenakan pakaian umat Budha. Yang tak berjanggut dan tak bersorban.
Alhamdulillah, kami belum pernah melakukan pembakaran manusia hidup-hidup. Belum pernah membunuh wanita dan anak-anak yang sedang melarikan diri, dalam keadaan tak berdaya. Belum pernah melukai siapa-siapa.
Terakhir, kami yang berjubah, yang bersorban, dan yang berjanggut ini ingin memberikan jaminan kepada umat Budha sebagai saudara setanah air, bahwa Anda tidak akan kami samakan dengan Ashin Wirathu dan gerombolan terornya di Myanmar, yang telah banyak membantai warga muslim tanpa ampun.
Yang tega membakar hidup-hidup orang Rohingya yang tak bersenjata. Yang kebenciannya terhadap Islam dan umat Islam begitu meluap-luap. Yang belas kasihannya habis terbakar bersama jasad anak-anak dan wanita lemah di kampung-kampung mereka di Provinsi Rakhine.
Kami tidak akan menyamakan umat Budha Indonesia dengan Ashin Wirathu, sebagaimana pimpinan teroris ini menyamaratakan pejuang bersenjata Rohingya dengan warga sipil biasa.
Itulah isi curhat lima orang berjubah, bersorban, dan berjanggut kepada saya, kemarin. Mata mereka berkaca-kaca; bersyukur karena sitgmatisasi buruk terhadap umat Islam Indonesia kini dibersihkan oleh Ashin Wirathu.
Mereka juga bersyukur karena labelisasi “preman berjubah” oleh Tuan Guru Bangsa, Syafii Maarif, telah dicabut juga oleh ketua teroris yang membuat jelek ajaran Budha itu. []