KEMARIN pagi, sesosok tinggi besar, berdiri agak lama di depan toko. Perawakannya membuat saya ciut. Ketika beliau masuk ke toko saya melihat matanya merah. Membuat saya semakin ciut. Tak sepatah kata terucap, beliau masuk langsung menuju hanger kaos anak anak.
Saya hanya berdzikir, “Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir.” dan “Laa illaha illa anta subhanaka inni kuntum minal dzolimin” berulang -ulang. Sampai suara lantangnya berkata, “Ibu… Tolong bantu saya cari baju untuk anak saya usia 2 tahun.”
Tapi beliau bicara tidak memandang wajah saya. Saya pun mendekat dengan hati berdebar-debar kencang. Saya berusaha mencari barang yang beliau cari dengan terus berdzikir. Sampai akhirnya saya mendengar kejanggalan. Suara terisak…
Saya menoleh dan saya melihat beliau sibuk menyeka air mata. Beliau pun terkejut ketika menyadari saya memandangnya dengan keheranan.
“Bapak baik-baik saja?” saya mulai bertanya.
“Maaf Bu… Maaf… Tidak seharusnya ibu melihat saya seperti ini,” jawabnya.
Saya bertanya lagi, “Bapak baik-baik saja?”
Bapak itu berdiri terpaku, wajahnya menunduk. “Maaf Bu… Saya habis dari makam ibu saya. Sedih sekali saya…” Katanya dengan suara lemah. Bukan lagi suara lantang yang saya dengar. Hilang sudah kesan seram yang saya tangkap dari sosok beliau berganti rasa iba dan bingung.
“Sedih saya… Ibu saya melahirkan saya, berjuang membesarkan saya, mengurus saya sakit, susah, menikahkan saya memperjuangkan semua dengan susah payah, dengan doa, dengan air mata, ingin anaknya sukses bermanfaat bagi masyarakat, tapi di hari tuanya saya tidak bisa mengurusnya, bahkan ketika masuk ke liang lahat bukan saya yang menggotongnya.
“Apalah arti kesuksesan saya bila ternyata tidak membawa kebahagiaan untuk ibu di akhir hayatnya. Bahkan melihat wajahnya di akhir hidupnya pun tidak. Saya cuma bisa melihat gundukan tanahnya sekarang.” Suaranya lirih, sedikit tekanan emosi dengan sedikit isakan.
“Tapi bapak masih bisa berbakti sama ibunya bapak dengan mendoakan Pak. Doa anak yang shalih akan jadi penolong bagi orang tua kita…” Kataku berusaha menghiburnya.
Beliau tersenyum tipis. “Iya Bu, betul. Doakan saya mudah-mudahan bisa mengisi sisa umur saya dengan manfaat, supaya bisa mendoakan ibu saya, mendoakan ibu saya, mendoakan ibu saya dan membahagiakan adik adik perempuan saya, membahagiakan istri dan anak saya.”
Tiba-tiba HP nya berdering. Beliau menghela nafas panjang. Lalu menjawab telepon, “Siap… Siap…Siap Laksanakan.” Begitu beliau menutup HP beliau berkata, “Bu, Bungkus dan hitung semuanya sekarang Bu, saya harus segera pergi,” ucapnya. Kali ini dengan suaranya yang kembali lantang.
Saya segera membungkus dan menyelesaikan transaksi. Beliau pun langsung pergi. Sejak kemarin saya terngiang-ngiang capannya. Hingga berpikir bahwa kasih seorang ibu selalu melembutkan hati karena mereka memberikan kasih dengan hati. Bapak yang bertubuh tegap dan membuat saya takut. Maafkan saya sempat berprasangka. Ternyata sungguh Anda berhati lembut. Saya yakin Anda InsyaAllah adalah anak yang shalih karena berkali-kali berharap bisa mendoakan ibunda di sisa umur Anda.
Bapak yang berhati lembut. Semoga Allah memberkahimu, melindungi mu dan memanjangkan umurmu agar keinginanmu yang mulia bisa terpenuhi.
Bapak yang baik hati, terima kasih untuk pelajaran “kasih anak pada ibu” hari itu saya yakin ibu anda adalah ibu yang hebat, semoga saya juga bisa jadi ibu yang beruntung yang memiliki anak shalih yang mendoakan orang tuanya.
Selamat bertugas, Pak. Semoga Allah melindungi. []
DISCLAIMER: Tulisan ini secara ekslusif diberikan hak terbit kepada www.islampos.com. Semua jenis kopi tanpa izin akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kami mencantumkan pengumuman ini di rubrik Kolom Ernydar Irfan dikarenakan sudah banyak kejadian plagiarisme kolom ini di berbagai media sosial.