Mahasiswa itu meminta air minum di botol yang beberapa detik sebelumnya di genggaman teman di sebelahnya. Si pemilih botol belum lama meminumnya. Tanpa ragu dia menyodorkan botol miliknya ke temannya. Dan sang teman tanpa ragu meminum dengan cara menenggak tanpa menyentuh bibir botol.
Saya amat terganggu saat mendapati peserta sebuah forum melakukan tindakan mengejutkan. Menyentak perasaan saya yang tidak menyangka kejadian di depan mata bukan sebuah ilusi. Si pemilik botol adalah perempuan berjilbab lebar, yang di kampus-kampus populer disapa “akhwat”. Sementara temannya yang meminum seorang lelaki.
Santai, tiada beban, bahkan di depan orang lain, termasuk di hadapan tamu yang berbicara di depan mereka. Saya hanya berprasangka semoga mereka masih bersaudara kandung, meski ini jadi pilihan dipaksakan agar tidak ada pikiran macam-macam. Jelas mereka sepantaran, satu organisasi, jadi agak mungkinlah “dipaksa” sebagai (seolah) saudara. Pun kendati paras mereka amat berbeda.
Saya tidak paham apakah kejadian ini sudah jamak ditemui di kalangan para aktivis. Mungkin era sekarang sudah tidak dipersoalkan. Saya betul-betul tidak tahu. Saya juga tidak tahu apakah beberapa kejadian perempuan berjilbab lebar bergaya di media sosial juga era baru para aktivis. Saya tidak kenal mereka, saya juga tidak tahu apakah mereka betul sebenar aktivis, sebatas pendengar/audiens dakwah, atau hanya kalangan yang baru mengenal Islam.
Awal Reformasi, tidak semudah sekarang mendapati perempuan berjilbab lebar. Memilih jilbab lebar menjuntai kainnya ke mana-mana bukan sebuah pilihan selera mode. Bukan karena mengikuti fashion atau gaya yang lagi tren. Ini soal pilihan ideologis. Namun hari ini, begitu mendapati busana serupa dengan aksentuasi warna, corak motif, dan tambahan lainnya beraneka rupa. Tidak semudah dulu lagi menilai si pemakainya. Mendapati akhwat bergamis lebar berdekatan dengan temannya, paling bisa diperbuat pemandangnya hanya memprasangka baik. Siapa tahu dia baru mengenakan busana penutup aurat.
Ya, hari ini, seiring makin mudahnya mendapati saudari-saudari seiman yang menutup aurat, ada saja celah ketidaksregan yang ada. Semisal di atas atau yang lebih “parah” lagi. Paling mungkin kita menyisakan ruang prasangka baik, husnuzan. Meskipun untuk lakukan ini tidak selalu mudah. Seperti saat saya dapati di sebuah supermarket ada akhwat bercadar yang langsung tanpa ragu memasukkan soft drink bikinan grup C**a C**a ke keranjang belanjaan. Ketidakpatutan mengonsumsi minuman dari produsen penyokong zionisme ini harus saya sertai dengan prasangkan baik: bisa jadi dia belum paham soal demikian; atau mungkin dia perlu demi bersihkan perabot berkarat. []