Pembantaian etnis Rohingya belum juga berakhir. Setelah dihebohkan dengan ribuan pengungsi yang mengapung di atas kapal pada tahun 2015 lalu, kini gelombang itu kembali terjadi. Pada 25 Agustus militer Myanmar membantai etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Aksi tersebut mengakibatkan 300 ribu lebih warga rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Apa penyebab dari rumitnya krisis di Myanmar ini?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai situasi ini tak lepas dari tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga Myanmar oleh rezim yang tengah berkuasa.
“Bahkan ada kecenderungan pemerintah Myanmar melakukan ethnic cleansing (pembersihan etnis) saat terjadinya konflik antaretnis Rohingya dengan otoritas Myanmar,” ujar Hikmahanto seperti dikutip dari Historia.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Moshe Yegar dalam Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma. Mereka mengungkapkan, masyarakat Rohingya tidak lagi diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar sejak 1982. Dua dekade setelah terjadinya kudeta militer oleh Jenderal Ne Win, hingga menetapkan pemerintahan junta militer.
Paspor mereka dicabut, hak-hak politik mereka dikebiri. Dalam Debating Democratization in Myanmar yang dirangkum Nick Cheesman dan Nicholas Farrelly, masyarakat Myanmar tidak lagi dicantumkan sebagai satu dari 135 kelompok etnis resmi yang disebut national races di Myanmar.
Jika dilihat secara historis, Bapak Bangsa Myanmar, U Aung San ayah dari Aung San Suu Kyi, pernah merangkul Muslim Rohingya. Aung San merangkul etnis yang kini tidak diakui itu sebelum Myanmar merdeka pada tahun 1948. Pada Perang Dunia II, Aung San dengan kelompok antifasisnya bahu-membahu dengan milisi Rohingya yang didukung Inggris dalam memerangi Jepang.
“Bokyoke Aung San dengan sangat ramah menerima Rohingya sebagai satu dari ras asli Burma sebagaimana Kachin, Kayah, Karen, Chin, Mon dan Rakhine. Dia menjamin kewarganegaraan (warga Rohingya) saat bertemu para petinggi muslim di Akyab, Mei 1946,” sebut U Kyaw Min alias Shamsul Anwarul Haque dalam artikel Legal Nexus Between Rohingya and the State di jurnal An Assessment of the Question of Rohingya’s Nationality.
Saat Myanmar merdeka, Muslim Rohingya bisa hidup tenang. Mereka menikmati semua hak nya sebagai warga negara. Mereka benar-benar bisa hidup setara di bawah payung Residents of Burma Registration Act yang dirilis 1949 dan disusul Burma Registration Rules pada 1951.
Tak hanya itu, pada tahun 1951 seorang etnis Rohingya berhak mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Mereka mewakili daerah-daerah pemilihan (dapil) Buthidaung Utara, Buthidaung Selatan, Maungdaw Utara serta Maungdaw Selatan. Tercatat beberapa nama anggota parlemen terkemuka asal Rohingya. Sebut saja nama-nama seperti Abdul Gaffar, Abul Bashar, Sultan Ahmed, Daw Awe Nyunt (a) Zurah, Ezar Meah, Sultan Mahmood, Abul Khair, Rashid, hingga MA Subhan.
Apresiasi pemerintah terhadap kebudayaan Rohingya diperlihatkan pula dengan adanya acara program bahasa Rohingya d BBS (Burma Broadcasting Service) atau stasiun radio milik pemerintah Myanmar.
Hak-hak beragama pun dijamin oleh pemerintah. Untuk mengikuti ibadah haji misalnya, pemerintah Myanmar menerbitkan paspor bagi masyarakat Rohingya yang sudah memiliki NRC (Kartu Registrasi Nasional) dan FRC (Sertifikat Registrasi Orang Asing), agar mereka bisa pergi naik haji ke Makkah.
Akan tetapi, kedamaian itu berakhir sejak kudeta dilakukan oleh pihak militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 2 Maret 1962. Pemerintahan junta militer lantas melindas pemerintahan sipil AFPFL (Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis) yang kala itu dipimpin Perdana Menteri U Nu.
Usai berhasil menggulingkan U Nu, secara sistematis hak-hak politik masyarakat Rohingya dihapuskan. Baik dalam mengikuti pencalonan, maupun memberikan suaranya dalam pemilu, melalui UU baru tentang Kewarganegaraan Tahun 1982. Benih-benih konflik mulai tertebar hingga menuai krisis hingga sekarang.
“Rohingya telah ada di Rakhine sejak dunia diciptakan. Arakan adalah tanah kami; tanah India selama seribu tahun lalu,” cetus politisi Rohingya Kyaw Min dalam suratkabar The Economist 3 November 2012.
Pemerintah junta militer Myanmar sudah tak lagi menjabar sejak 2016. Saat ini Pemerintahan dipimpin oleh wakil dari partai pimpinan Aung San Suu Kyi. Lewat Pemilu, NLD (Liga Nasional Demokatik) pimpinan Aung San Suu Kyi, dan wakilnya, U Htin Kyaw berhasil jadi presiden.
Meski pemerintahan junta militer sudah berakhir. Muslim Rohingya belum mendapat hak-haknya sebagai warga nerara. Agaknya Suu Kyi tak belajar dari sang ayah. Maka tak heran, Sang Ayah yang pernah merangkul Muslim Rohingya ini dikenal sebagai Bapak Bangsa Myanmar. []