Saat ini ada 400 ribu lebih pengungsi Rohingya di Bangladesh. Gelombang pengungsi ini kembali mencuat usai militer Myanmar melakukan serangan kepada mereka di negara bagian Rakhine pada 25 Agustus lalu.
Seorang pemuda berusia 30 tahun menceritakan kejadian saat terjadi pembantaian itu. Ia bernama Ahessan. Sebelum kondisi menghawatirkan terjadi di Rakhine, Ahessan adalah seorang petani dan juga pengajar bahasa Inggris untuk anak-anak.
Saat itu, 25 Agustus 2017, militer Myanmar memasuki desa tempat Ahessan tinggal. Ketika itu ia tengah sarapan bersama keluarganya. Tanpa pandang bulu para anggota militer itu mengarahkan tembakannya ke arah keluarga Ahessan. Lima anggota keluarganya seketika meninggal.
“Saya menemukan ibu saya terbaring di lantai dengan luka peluru di punggungnya, adik perempuan saya berbaring di dekatnya dengan luka tusukan di  wajah dan tubuhnya. Ini adalah situasi yang sangat menyedihkan,” terang Ahessan seperti dikutip dari Aljazeera, Kamis (14/9/2017).
Seorang tentara mencoba memperkosa adik perempuannya. Sang adik menolak tapi mereka masih memukulinya. Gadis itu mengalami trauma yang sangat hebat. Ahessan kemudian membawa sang adik dengan dibantu saudara laki-lakinya ke Perbatasan Bangladesh dengan beberapa bambu dan selimut.
“Kita melihat banyak mayat, anak-anak menangis dan orang tua kelaparan. Ketika kami sampai di perbatasan, lebih dari seribu orang Rohingya berusaha menyeberangi sungai – akhirnya, kami menemukan sebuah kapal yang membawa kami menyeberang,” cerita Ahessan.
“Kehidupan kita di Bangladesh sangat menyedihkan – tidak ada sanitasi dan tidak ada tempat tidur yang cukup bagi semua pengungsi di sini. Kita hidup, tapi sangat mengerikan kita bisa saja mati. Saya khawatir orang Rohingya akan segera meninggal – jika kita tinggal di Myanmar maka kita akan terbunuh, tapi di sini kita tidak memiliki kehidupan,” tambahnya.
Namun, ia percaya seluruh dunia membantu dan mendukung etnis Rohingya. Ia juga sangat bersyukur akan hal itu. Ahessan berharap dunia bisa memberikan kebebasan kepada dirinya dan ratusan ribu etnis Rohingya lainnya.
“Kita adalah manusia yang sama seperti kalian. Bedanya, kalian adalah warga negara yang diakui dan kita tidak. Saya naik banding ke seluruh dunia, tolong biarkan kami hidup seperti kalian,” tutup Ahessan. []