DALAM kehidupan, mendapat kesenangan dan kesusahan adalah hal yang pasti. Semua itu adalah Qadarullah yang harus kita terima sebagai Muslim yang beriman. Tak jarang seseorang yang mendapat keuntungan bernazar untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk rasa syukur. Lalu apa itu nazar? Wajibkah melaksanakan nazar yang telah diucapkan?
Nazar adalah janji tentang kebaikan yang asalnya tidak wajib menurut syara’ akan tetapi sesudah dinazarkan maka menjadi wajib.
Seperti firman Allah Swt yang artinya: ”Mereka menunaikan nazarnya,” (QS. Al-Insan: 7).
Begitupun telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa bernazar akan menaati Allah SWT (mengerjakan perintah-perintah-Nya), hendaklah dia kerjakan,” (HR. Bukhari).
Ada dua macam nazar, yaitu:
1. Menjanjikan ibadah apabila dia mendapat nikmat (keuntungan) atau karena terhindar dari bahaya. Umpamanya seorang berkata, “Kalau saya dikarunia Allah anak, saya akan puasa lima hari karena Allah,” atau “Kalau Allah menyembuhkan penyakit saya ini, saya akan shalat tengah malam enam kali karena Allah.” Maka apabila ia memperoleh anak, atau sembuh dari sakitnya, dia wajib berpuasa lima hari, atau shalat malam enam kali.
2. Mewajibkan ibadah dengan tidak ada sebabnya. Misalnya dia berkata,”Saya akan berpuasa bulan ini, tiga hari karena Allah,” atau”Saya akan shalat dua rakaat.”
Nazar yang kedua ini—menurut sebagian ulama—adalah wajib dikerjakan sebagaimana hukum nazar yang pertama. Pendapat inilah yang kuat dalam mazhab Syafi’i atas dasar hadits yang disebutkan di atas. Sebagian ulama berpendapat tidak sah, berarti tidak wajib ditepati.
Bernazar akan berbuat maksiat (larangan Allah SWT) maka nazarnya tidak sah, misalnya seseorang yang bernazar akan minum arak dan sebagainya.
Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa bernazar akan mengerjakan maksiat (larangan Allah), janganlah ia kerjakan maksiat itu.” (HR. Bukhari). Wallahualam. []
Sumber: Fiqh Islam. Karya H. Sulaiman Rasjid. Penerbit Sinar Baru Algensindo