Oleh:
Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.
Jarang sekali para filosof menggunjing tentang setan. Kecuali membicarakan “Good and Evil”, baik dan buruk. Keburukan mustahil dikaitkan dengan Tuhan, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Sempurna dan Maha Segalanya secara absolut. Tidak ada gugatan atas hal tersebut. Tuhan ada sebelum adanya segala sesuatu itu ada.
Setan pada muasalnya adalah penghuni surga, kesombonganlah yang membuat ia terlempar. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa setan adalah pelengkap dari kesempurnaan ciptaan Tuhan dan mengandung hikmah bagi kehidupan.
Memfilosofikan setan sama saja dengan membicarakan keburukan. Pendapat itu pasti yang akan keluar dari pikiran kita, setan identik dengan laku buruk, dan pemahaman tersebut sudah tidak bisa ditawar lagi, seperti halnya seseorang yang ingin melakukan aktivitas, mengaji atau apapun.
Sebelum menyebut nama Tuhannya Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ia lebih dulu meminta perlindungan dari godaan setan yang terkutuk. Artinya, keterkutukan setan sudah menjadi harga mati.
Karena itu, wajar saja jika setan menjadi bulan-bulanan manusia ketika manusia membuat kesalahan. Sampai-sampai ada anekdot, setan sakit hati selalu disalahkan, padahal setan belum melakukan aksi godaannya. Faktor itulah yang membuat setan mengadakan ‘Rapat Kerja Nasional Setan’ dengan tema apakah perlu setan pensiun dini? Kinerjanya sudah tidak seperti dulu, manusia sudah mengambil alih sendiri tanpa harus ada godaan.
Dalam ‘Rapat Kerja Nasional Setan’ tersebut setan menggugat, sebaiknya kita sudahi saja menggoda manusia, seburuk-buruknya golongan setan tidak pernah membuat video porno, tidak pernah mengaku Tuhan, dan tidak pernah menTuhankan yang lain selain Allah.
Di pihak lain menyerukan, jangan pensiun, kita sudah membuat komitmen sampai akhir hayat menggoda manusia, jangan sampai kita menyesal nantinya. Kestabilan dunia tanpa setan tidak akan seimbang.
Ya, memang demikian, terlahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan kejaksaan, fungsinya untuk “menangkap setan”. Kalau setan pensiun, banyak sekali pengangguran, lembaga-lembaga hukum tersebut tidak lagi memiliki fungsi.
Setan juga yang memacu diri kita menjadi kreatif dan bekerja sungguh-sungguh supaya menjadi lebih baik. Berdirinya lembaga-lembaga kemanusiaan, lembaga pendidikan, majlis ta’lim, dan sebagainya. Itu sebagai usaha kreatif manusia agar tidak terperdaya oleh bujuk rayu setan yang menipu.
Untuk melihat bahwa setan mengandung potensi hikmah dalam kehidupan manusia, sekadar anekdot: alkisah, pada bulan Ramadhan sebagai bulan suci, setan juga ingin bertaubat, dan ia datang menghadap Syekhul Azhar, untuk didoakan kepada Allah agar taubatnya diterima. Sepuluh hari pertama Ramadhan doa Sang Syekh belum dapat jawaban dari Allah. Demikian juga sepuluh kedua.
Pada sepuluh ketiga Sang Syekh berpikir, bagaimana kalau taubat setan nanti diterima Allah, tentu tidak ada lagi kejahatan dipermukaan bumi ini, dan tentu tidak diperlukan lagi lembaga-lembaga pendidikan agama dan tempat-tempat peribadatan.
Akhirnya pikir Sang Syekh, Al-Azhar akan ditutup dan bubar, dan saya kata Sang Syekh, tentu tidak punya jabatan dalam pekerjaan apa-apa lagi. Sekarang Sang Syekh yang datang menghadap setan dan berkata, “Kamu tidak perlu taubat dan teruskan saja pekerjaanmu menggoda manusia.” Sungguh benar, Tuhan menciptakan segala sesuatu tidak main-main, mesti ada hikmahnya, fa’tabiru ya ulul al-bab.
Dengan demikian, kontrol diri merupakan hal terpenting sebagai pengendali, sebab godaan akan datang dari berbagai penjuru. Setan adalah eksistensi lain dari ciptaan Tuhan yang selalu mendukung potensi buruk kita. Oleh karena itu, pada akhirnya kita lah yang menyetir kehidupan kita, keburukan mustahil datang dari Yang Maha Baik.
Bahkan semua ciptaan-Nya adalah baik. Baik dan buruk ada secara potensial pada diri manusia, tergantung bagaimana manusia dalam memandang kehidupan, apakah bersandar kepada Yang Maha Baik atau hanya menuruti hawa nafsu setan, apakah optimis atau pesimis, dan apakah positif atau negatif. Kita lah penentunya, kenali dirimu sendiri. Lakukanlah perjalanan ke dalam diri, sebelum kita “mengkambinghitamkan” setan.
Sumber: www.nu.or.id