SEORANG wanita Rohingya, 30, menceritakan bagaimana dia harus menyelamatkan diri dari militer Myanmar. Saat itu ia baru saja melahirkan dan harus melarikan diri dalam kondisi tali pusar bayinya belum dipotong.
2 Spetember 2017, sebuah desa di Quanchong, Maungdaw di Negara Bagian Rakhine diserang militer Myanmar. Saat itu Hamida berada di rumahnya. Selama masa kehamilannya, ia baru pertama kali mendengar keributan dengan disertai suara tembakan.
“Militer Myanmar menyerang desa kami, mereka menembaki kami dan mengejar kami dan bahkan menembak kami saat kami melarikan diri. Lalu mereka membakar desa hingga terbakar habis,” katanya menceritakan kepada Dailymail dengan wajahnya tanpa ekspresi.
Dalam kondisi hamil tua, Hamida terpaksa melarikan diri ke hutan bersama suami dan enam anak orang anaknya.
Selama 48 jam, mereka tinggal di hutan. Tanpa diduga, Hamida merasakan perutnya sakit. Dengan ketakutan, dia menyadari bayinya akan lahir. Tapi dia tidak punya apa-apa, bahkan selimut pun tak ada. Ia terpaksa berbaring di hutan tanpa sehelai alas apapun.
Tiga jam kemudian, bayinya berhasil keluar dan selamat. Keluarga itu mendapatkan kebahagiaan luar biasa, bayi mungilnya berjenis kelamin laki-laki. Ia terlihat sehat. Namun kebahagiaan itu pudar saat suara mencurigakan terdengar di tengah hutan.
Mereka bersiap dan bergegas melarikan diri. Meski dalam kondisi belum pulih, bahkan tali pusar sang bayi masih menempel, Hamida dan keluarganya pergi mencari tempat yang aman.
“Aku berlari dengan bayi masih menempel. Mereka mengejar kita, dan saya tahu mereka memiliki senjata dan pisau,” kata Hamida.
“Saya memang baru saja melahirkan, kondisi saya belum pulih saat itu. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Jika mereka menangkap kita, mereka membunuh kita, juga bayi saya yang baru lahir,” katanya.
Hamida tidak tahu berapa lama dia berlari. Karena ketakutan dan rasa sakit yang dia rasakan, dia mencengkeram bayinya yang baru lahir dan berdoa agar Allah mengeluarkannya dari bahaya.
Ketika keluarga ini menemukan tempat yang aman, akhirnya mereka bisa beristirahat lagi. Sang suami menebang dua potong bambu dan menggunakannya untuk mempertajam pisau parangnya. Setelah dirasa cukup tajam, ia memotong tali pusar sang bayi.
Hamida menghabiskan tiga hari lagi di hutan. Ia harus memulihkan kesehatannya pasca melahirkan. Di sana, dia dan suaminya menamai bayi itu, Hossain Shaheb.
Karena makanan yang tersedia di hutan itu sedikit sekali, keluarga tersebut memutuskan pergi menuju Bangladesh.
“Kami hanya tidur dengan alas tanah dan atap langit. Kami tidak punya makanan untuk dimakan. Kami pergi berhari-hari dimana semua yang kami temukan adalah air. Anak-anak lain menangis histeris karena kelaparan,” kata Hamida.
Keluarga itu berjalan selama dua hari untuk mencapai Sungai Naf, perbatasan dengan Bangladesh. Di sana, seorang tukang perahu kasihan pada keluarga ini. Mereka dibawa menyeberang secara gratis. Dia menawarkan rumahnya kepada mereka dan memberi mereka makanan. Itu adalah makanan pertama yang mereka makan sejak melarikan diri dari desanya di Rakhine. Akhirnya, keluarga Hamida tinggal selama dua malam di rumah tersebut.
Setelah itu keluarga Hamida menuju pemukiman pengungsi informal di Gumdum. Ada 50.000 pengungsi sementara yang tinggal di sana. Suami Hamida membeli beberapa bambu dan terpal untuk membangun tempat berlindung. Ia mendapatkan panci untuk masak dari tukang perahu. Keluarga Hamida sedang berusaha membuat rumah.
“Sebenarnya kami tidak ingin berada di sini, kami tidak punya kebahagiaan disini,” kata Hamida, suaranya bergetar karena emosi. Dia menunduk menatap anak laki-lakinya yang berusia 15 hari.
“Tapi kita harus pergi dari sana, atau kita pasti terbunuh,” ucapnya.
Hamida duduk memangku Hossan di bawah terpal plastik. Saat itu Hossain merintih di pelukannya, terlalu lemah untuk menangis.
“Dia lapar,” kata Hamida, menunduk menatapnya tanpa daya. “Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya tidak punya susu,” ujarnya.
Hamida baru saja makan beberapa hari yang lalu, dan saat tubuhnya menjadi lemah, dia tidak lagi bisa menyusui. []