TIDAK disangka, ustad muda yang kami kenal lama sudah piawai memimpin Shalat Malam di acara-acara mahasiswa di Yogyakarta itu mengecewakan sang guru. Dia pun harus diusir lantaran soal menikah. Meski sudah beristri, diam-diam ustad muda itu menikah siri sebanyak dua kali, tanpa mengindahkan etika di organisasi dakwahnya. Bahkan, di tempat peraduan barunya, diulanginya lagi nikah siri, kali ini dengan seorang pelajar SMA.
Saya membayangkan betapa hancur hati sang istri yang pernah memaafkan sang suami kala diam-diam menikahi mahasiswi di Yogyakarta dulu. Padahal, sang istri sudah memberikannya keturunan. Saya tidak ingin menghakimi ustad muda itu, kendati tidak menyetujui perilakunya. Yang bisa saya lakukan sebatas memetik hikmah di balik perilakunya. Semoga saja saya bisa menjaga perasaan istri dan anak-anak saya untuk tidak melalimi mereka atas nama kebaikan.
Pada usia sang ustad, teringatlah saya pada Buya Hamka. Soal wanita, Hamka yang masih bergelora layaknya anak muda, tidak terpisah dari sosok sang ayah, Dr.Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul. Seperti diceritakan Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka (1981: 1-20), umur 19 tahun sepulang berhaji, Hamka terima bujukan sang paman, Haji Yusuf Amrullah, bahwa pernikahan Hamka bisa menjadi obat pelipur lara sang ayah yang kala itu berduka. Duka akibat tiga sebab: rumah di Padang Panjang hancur akibat gempa; pelajar-pelajar di Thawalib membangkang akibat pengaruh komunisme; Belanda mengintip gerak-geriknya.
Sebenarnya, kepulangan Hamka dari berhaji saja sudah menjadi kebahagiaan ayahandanya. Demikian kata Haji Yusuf. Tapi, sang paman meminta Hamka untuk mengobati kegundahan hati sang ayah.
“Bagaimana saya mengobatinya?” tanya Hamka, polos.
“Engkau harus kawin. Buyamu gembira bila mempunya menantu,” jawab Haji Yusuf. Sang paman lantas memberitahukan bahwa Haji Rasul telah menunangkan Hamka dengan seorang gadis dari kampung tetangga bernama Siti Raham.
Dua tahun kemudian, pada umur Hamka 21 tahun dan Siti Raham 15 tahun resmilah keduanya selaku suami dan istri.
Tujuh tahun kemudian, Haji Rasul punya rencana buat Hamka. Dimintanya si anak kesayangan untuk mengikuti jejaknya: berpoligami. Hamka yang trauma dengan perceraian ayahandanya dengan sang bunda memilih untuk kabur! Ya, dia diam-diam hijrah ke Medan. Padahal, ketika itu, tahun 1936, Hamka masih punya amanah, yakni mengelola Kulliyatul Muballighin (lembaga pengader ulama di bawah Muhammadiyah) yang didirikannya; apalagi saat hijrah, baru saja akan memulai tahun ajaran baru.
Hamka memilih lari ke Medan untuk menjadi awak redaksi Pedoman Masyarakat, kendati ia dicibir karena dianggap tidak tahan hidup miskin di Padang Panjang. Padahal, alasan kepindahannya itu bukan soal periuk dapur, melainkan soal anjuran ayahandanya.
“Saya terjepit antara pendirian dan ketaatan kepada orangtua,” tutur Hamka kepada muridnya, Agus Hakim, 30 tahun kemudian setelah kejadian, sebagaimana dimuat dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1979: 61-62).
Ayahanda Hamka ketika itu, papar Hamka kepada Hakim, “memaksaku agar aku beristri seorang lagi; hal itu amat berat bagiku akan menerimanya.”
Hamka tidak menolak poligami, tapi ia menarik pelajaran dari pengalaman orangtuanya, khususnya sang ibu kandung.
“Ibuku yang menderita akibat ayahku beristri banyak. Nasib kami anak-anak yang kadang-kadang kurang terurus, karena ayah hanya asyik menghabiskan hari dengan tipak dan giliran isri-istrinya.”
Toh kendati tidak setuju dan merasakan derita akibat poligami Haji Rasul, Hamka tetap hormat pada ayahanda sekaligus gurundanya itu. Di dalam alinea-alinea akhir buku tipis karyanya, Kedudukan Perempuan dalam Islam (1983), Hamka menyitir jasa Haji Rasul dalam soal pembuatan shigat ta’liq.
“Coba lihat di sini. Bukankah ini satu jasa yang besar dari seorang Ulama Besar terhadap hak wanita. Supaya terlepas dari aniayaan laki-laki?” tulis Hamka.
Memang, ustad muda yang saya kenal di awal tulisan ini belumlah sekaliber Hamka. Soal amalan diterima, Allah jualah yang tahu. Yang saya tahu, pada seusianya, Hamka sudah berani bersikap untuk tidak berpoligami, sementara ustad muda tadi memilih untuk aktif—untuk tidak mengatakan agresif—menikahi wanita lain; itu pun dengan jalan tidak ahsan. []