Ada orang yang berani melamar calon pasangan, bukan semata kondisi yang mumpuni. Bukan ada pihak yang sedia biayai, bukan pula ada lembaga yang siap mensponsori. Atau ada yang menanggung biaya resepsi.
Bukan karena itu ia berani, tapi karena keyakinan kuat pada Ilahi yang menyalakan seonggok api berani dalam hati.
Secara kasatmata, kondisi ekonominya tak bisa dibilang cukup. Kalau dihitung secara matematis, bisa dibilang hidupnya pas-pasan, bahkan mungkin sangat kurang.
Namun, kondisi ini tak menyurutkan niatnya untuk melangkah menuju pernikahan.
Saat niatnya diutarakan pada sang calon dan disaksikan keluarga besarnya, ia percaya diri.
Bila ternyata lamarannya ditolak, ia pun menerima kenyataan dengan lapang dada. Tak ada dendam yang tersimpan di hatinya.
Bila di sini ditolak, bisa jadi di tempat lain ada yang bersedia menerimanya dengan hati terbuka.
Maka langkah berikutnya adalah ikhtiar kembali untuk melamar lagi. Bila ditolak lagi, ya nggak apa-apa. Tidak rugi. Jadi tak usah dibuat pusing.
Kalau memang benar ingin menikah, tak ada salahnya melangkah kembali melamar yang lain.
Tidak semua orang memiliki keberanian seperti ini, lebih sedikit lagi yang menganggap biasa penolakan yang dialaminya.
Bila niat menikah untuk ibadah, karena Allah, maka ditolak tak akan membuatnya terpuruk dan stres. Ditolak dan diterima merupakan hal biasa. Bila ditolak bersabar, bila diterima bersyukur. Dua-duanya berpahala selama ikhlas menerimanya.
Menyala dan redupnya niat menikah merupakan wilayah pilihan. Apakah kita akan menjaga niat tersebut hingga berhasil bersanding di pelaminan, atau mengendurkan maksud dengan meratapi penolakan demi penolakan.
Bila pilihan kita meratapi penolakan, ini alamat pernikahan bakal tertunda lebih lama. Pernikahan yang didamba pun tak kunjung tiba karena hati tersita pada calon yang lama. Padahal, sudah jelas di depan mata ia tak mau menerima uluran cinta.
Meratap, galau, dan stres menyelimuti diri. Tentu ini bukan pilihan yang bijak dan solusi yang menenteramkan.
Berani naksir, bernyali melamar. Ini bagus. Namun, harus siap dengan konsekuensinya; siap diterima, siap pula ditolak cinta. []