SELAIN Rashid, Dilara Begum, 11 dan Ajija Begum, 9, juga kehilangan orang tua mereka. Sang kakak, Dilara, masih shock dan nyaris tidak bisa bicara.
“Sebelum makan siang, ibu menyuruh saya bermain di halaman. Saat itu ayah sedang siap-siap bekerja,” cerita Ajija seperti dilansir oleh Al-Jazeera.
Saat ia sedang bermain dengan Dilara dan Mushtakim—saudaranya yang lain—ia mendengar suara tembakan. Mereka ketakutan dan bersembunyi di semak-semak dekat rumah di desa Bargojibil, Maungdaw.
“Kami bersembunyi di balik semak-semak. Saya melihat militer menembaki orang tua saya. Kemudian, mereka menggorok leher ayah dan menikam perut ibu dengan pisau besar,” kata Ajija sambil menyeka air matanya.
Usai kejadian itu saya terpisah dengan kakak saya. “Saat berlari ke bukit, saya bertemu dengan tetangga saya. Mereka merasa kasihan mendengar orang tua saya terbunuh,” katanya.
Saat sampai di kamp pengungsian Kutupalong, Ajija bertemu dengan saudara perempuannya. Termasuk dengan Mushtakim—yang saat ini baru saja pulih dari luka tembak. Sementara delapan saudaranya dibunuh oleh militer Myanmar.
Dulu, ketika masih di Myanmar, Ajija sering bolos sekolah karena tentara sering datang ke sana. Namun di Bangladesh, Ajija merasa senang sekali.
“Saya senang berada di Bangladesh. Saya tidak merasa terancam akan dibunuh. Dan saya punya banyak teman di sini,” kata Ajija. []