BANGLADESH–Lebih dari 430.000 Muslim Rohingya saat ini berada di distrik Cox’s Bazar, Bangladesh. Mereka menyelamatkan diri dari serangan militer Myanmar.
Lembaga bantuan mengatakan anak-anak, janda, orang tua dan orang disabilitas saat ini sangat membutuhkan bantuan. Mereka membutuhkan makanan, tempat tinggal dan perawatan kesehatan.
Dikutip dari Al Jazeera berikut beberapa pengungsi, yang mengisahkan bagaimana kekejaman militer Myanmar terhadap mereka.
Nur Jahan, 85
Saya meninggalkan rumah di desa Kuinnyapara di Maungdaw. Anakku, Abdullah, dibunuh oleh tentara Myanmar. Dia berusia 28. Selama ini dia yang merawatku. Saya melarikan diri agar selamat dari penyiksaan militer Myanmar. Saya hampir tidak bisa berjalan, tapi entah bagaimana berhasil mencapai Dhankhali Char untuk menyeberangi sungai Naf ke Bangladesh.
Ketika saya tidak berdaya, seorang pemuda bernama Hamid Hossain, 27, menyelamatkan saya. Saya tiba di Bangladesh dengan Hamid melintasi perbatasan di Shah Pori Dwip pada tanggal 3 September. Saya tinggal di sini bersama Hamid dan keluarganya yang berjumlah 15 orang.
Suami saya Abu Bakar Siddique meninggal delapan tahun yang lalu. Sementara anak-anak saya yang lain tidak tahu bagaimana kabarnya.
Tempat saya tinggal saat ini nyaman tapi jauh dari jalan utama.
“Saya memutuskan tinggal di sini. Saya menyerahkan semuanya kepada Allah. Semoga Allah memanggil saya tanpa ada rasa takut diserang.”
Ayesha Begum, 85
Saya melarikan diri dari daerah Badanat di Maungdaw. Dari 10 anak saya, hanya dua anak yang masih hidup—1 laki-laki dan 1 perempuan. Sisanya terbunuh saat militer Myanmar melakukan serangan ke desa kami.
Saat ini saya tinggal di dekat puncak bukit bersama putri saya. Saya kelaparan. Tak ada makanan apapun di sini sejak pagi. Saya juga tak bisa tidur. Tubuh saya sakit.
Putri saya Nasima Begum, 42, suaminya, Ali Chan Miah, tinggal jauh dari jalan utama. Sulit untuk mengambil makanan di sini.
“Saya, suami dan anak-anak bisa saja tidak makan sehari atau dua hari, namun bagi ibu saya, hal itu tidak mungkin. Ibu saya sudah setua itu,” kata Nasima.
Monir Ahmed, 36
Saya mengalami gangguan penglihatan. Saya mohon kepada kamp pengungsi Thaingkhali yang tidak terdaftar untuk bertahan hidup. Saya dari Charicomb di Maungdaw. Saya tinggal di tempat ini sudah tujuh hari, tapi tidak bisa menemukan pusat medis. Saya perlu berkonsultasi dengan dokter mata.
Saya tidak tahu di mana saya bisa menemukan tempat medis untuk tuna netra.
Saya senang bisa tinggal di sini. Setidaknya tidak ada yang membunuhku. Orang-orang di sini sangat baik, mereka memberi saya makan.
Jannat Ara, 25
Kaki saya lumpuh saat masih kecil, akibatnya saya tidak bisa menikah sampai sekarang. Ayah dan ibuku meninggal beberapa tahun yang lalu. Dulu, saya tinggal di desa Morikhong di Maungdaw.
Ketika desa-desa terdekat diserang, saya memberi sekitar 300.000 Kyat kepada dua anak laki-laki dari desa saya untuk membantu mencapai Bangladesh.
Saat ini saya tinggal di gudang nomor 19 di Blok D di kamp Kutupalong yang terdaftar di rumah salah satu kerabat saya.
Adik perempuan Jannat Shamima, 22, mengatakan bahwa mereka hidup dengan sejumlah uang yang ditinggalkan oleh ayah mereka.
“Tapi sekarang kita punya sedikit uang yang tersisa.
“Saya tidak tahu bagaimana kita bisa bertahan setelah uang habis. Kita tidak punya sumber penghasilan di sini.
“Saat ini ada Lembaga disabilitas Internasional, yang memberikan perawatan gratis, tapi siapa yang akan memberi kita makanan dan tempat tinggal di masa depan?”
Itulah beberapa kisah dari para pengungsi Muslim Rohingya yang tidak terekspos media. Mereka merasakan kegetiran yang mendalam. Saat ini mereka memang terbebas dari ancaman pembunuhan militer Myanmar, namun mereka kini belum mendapat kehidupan yang layak. []