Oleh: Herman Apriadi
imanabid722@gmail.com
“MANA yang lebih baik?” tanya Ucok pada bang Bro, “Yang rajin shalat tapi kelakuannya nggak baik? Apa yang nggak pernah shalat , tapi kelakuannya baik?”
“Pertanyaannya yang salah,” jawab bang Bro sambil menekan tombol remote, mengganti-ganti channel tv, ekspresi agak kesal. Bukan kesal pada Ucok, tapi pada tayangan tv. Ucok tahu bang Bro belum selesai sampai di situ, maka ia sabar menunggu sampai bang Bro menemukan acara yang ia suka. Setelah ketemu acara yang nyaman dipandang mata, bang Bro melanjutkan,
“Kalau kita nyari yang lebih baik di antara kedua tipe itu, kita ini bego namanya.”
“Lha kenapa?” tanya Ucok heran.
“Begini, misal yang rajin shalat tapi kelakuannya nggak baik, lalu kita sepakati itu yang lebih baik. Trus kita mau apa? Mau kita tiru?”
Ucok bingung menanggapi pertanyaan bang Bro. Terlihat ia menggaruk kepalanya sendiri.
“Sebaliknya,” lanjut bang Bro, “misal yang nggak pernah shalat tapi kelakuannya baik, lalu kita sepakati itu yang lebih baik. Trus kita mau apa? Mau kita tiru juga?”
Sama seperti pertanyaan sebelumnya, Ucok menggaruk kepala yang sebenarnya tak ada rasa gatal di sana.
“Cok!” bang Bro mengganti posisinya, kali ini badannya menghadap Ucok, tanda ia mulai serius. Ia melanjutkan, “08 Tentang dia nggak pernah shalat , jangan ditiru. Tugas kita itu. Bukan menilai mana yang baik di antara keduanya.
Untuk yang shalat nya rajin, do’akan agar dia meresapi shalat nya, supaya Allah beri hidayah ke dia biar berpengaruh pada perbuatannya. Untuk yang baik kelakuannya lu do’ain juga, semoga lewat kebaikannya Allah beri dia hidayah lalu ia sadar, bahwa walau sebaik apa, kalo nggak shalat itu tetap nggak benar.
Kita do’akan dan berdo’a agar kalimat pembenaran semacam, ‘Yang penting gue nggak jahat sama orang lain’ sama, ‘Biar suka maksiat, tapi gue masih shalat ‘, yang seperti itu nggak mengkristal di dalam hati.
Siapa bilang orang yang tidak shalat tapi kelakuannya baik, dia itu tidaklah jahat? Karena ketika seseorang tidak shalat , dia telah jahat terhadap dirinya sendiri. Dan jika ada yang mencontoh dia, maka dia telah jahat sama orang lain tanpa dia sadari.”
“Siap, Bang!” jawab Ucok tanda mengerti.
“Kamu mau tahu yang paling baik itu yang bagaimana?” tanya bang Bro.
“Apa, Bang?”
“Yang paling baik itu, yang tidak pernah merasa dirinya baik walau orang-orang–bahkan Allah telah menilai dia itu orang baik. Dan dirinya, selalu berusaha menjadi orang baik.”
“Kita tuh, Bang! Asli kita banget.” timpal Ucok, sambil menahan tawa.
“Iya, kitalah orang yang paling baik itu.” jawab bang Bro yang juga menahan tawa. Mereka berdua diam beberapa saat. Yang terdengar hanya sayup suara tv. Keduanya melirik satu sama lain. Lalu serentak saling meledek,
“Iya, kalo lobang jarum dimasukin onta! Hahaha!”
Tawa pun pecah. Dan bang Bro lega karena Ucok mengerti yang dijelaskannya. Demikian juga Ucok, ia bersyukur karena bisa memahami penjelasan bang Bro. []