KADANG-kadang rasanya merinding haru membaca kisah orang-orang yang seolah-olah telah “membeli” tiket surga. Mereka seakan telah “memesan” kursi dan rumah di surga.
Ada cerita tentang seorang tua yang lumpuh namun tak pernah luput menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid.
Ada cerita tentang seorang yang lumpuh total namun bisa muncul sebagai motivator dan penulis buku.
Ada pula seorang pak tua yang berjalan kaki di sekeliling kota Bandung menjajakan buku Panduan Shalat seharga sepuluh ribu rupiah. Dia tidak mau menduga bahwa orang yang membeli itu tidak tahu cara shalat, tapi setidaknya itu menjadi motivasi baginya untuk shalat ataupun bisa menjadi hadiah buat orang lain.
Ada cerita tentang orang yang menghajikan ayahnya sambil menggendongnya di atas pundak.
Ada cerita tentang seorang ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang cuci pakaian, namun mengumpulkan sen demi sen agar bisa membeli berqurban di hari raya Idul Adha.
Ada kisah tentang orang-orang yang menjadi dai atau juru dakwah di pedalaman, perdusunan, jauh dari hiruk pikuk politik, kekuasaan dan kekayaan. Mereka bukan tidak pintar atau menganggap diri kurang beruntung. Mereka berada di jalan itu sebagai sebuah pilihan: Memberikan pencerahan kepada orang-orang yang seolah-olah tercegah untuk mendapatkan pencerahan.
Ada kisah tentang orang besar yang selalu berpikir dan bertindak bagaimana mewariskan kebaikan dan ilmu pengetahuan kepada “sebanyak-banyaknya orang”, bukan hanya kepada “orang banyak”.
Semua ini kisah nyata. Orang-orangnya ada. Sebagian di antaranya masih hidup. Tidak perlu identitas, karena pesannya terdapat pada cerita hidup mereka.
***
Saya tidak mengatakan bahwa orang-orang tertentu pasti masuk surga, kecuali para Nabi dan Rasul dan mereka yang telah diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya bahwa mereka adalah para penghuni surga. Saya cuma ingin merasakan sedikit getaran, betapa kebaikan yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan istiqamah itu, dapat menghantarkan kita ke tepi danau maghfirah, rahmat dan surga dari Allah SWT.
Lalu saya teringat pada sebuah kisah di zaman Rasul saw. Sebagaimana dikisahkan oleh Abu Hurairah, seorang arab badui datang kepada Rasul. Istilah “badui” seringkali merujuk pada frasa “keterbelakangan peradaban” atau “ketidakmajuan budaya dan pengetahuan”. Maka datanglah lelaki itu, dengan segala keadaannya. Ia lalu bertanya kepada Rasulullah saw: “Tunjukkanlah kepadaku amalan yang jika kau kerjakan, maka aku akan masuk surga.”
Rasul saw menjawab: “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, engkau dirikan shalat wajib, engkau keluarkan zakat wajib, dan berpuasa pada bulan suci Ramadhan.” Lalu ia berkata, “Dan demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, aku tidak menambah dan menguranginya dengan sesuatu apapun.” Maka ketika ia pulang, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat seorang lelaki penghuni surga, maka hendaklah ia melihat orang itu.” Hadits ini dicatat oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya masing-masing.
Begitu sederhana, simple dan taktis. Setiap orang dituntut berbuat kebaikan semaksimal kemampuannya. Dan kebaikan itu, sungguh teramat banyak. Tak terhitung. Tak terpenamai, bahasa tempoe doeloe-nya. Bahkan waktu yang kita punya, tidak cukup untuk mengerjakan seluruh kebaikan itu.
***
Berharap mempunyai rangkaian kebaikan yang ber-impact luas dan terus mengalir sepanjang hari, sepanjang waktu, tak lapuk dikunyah waktu, tak lekang ditelan masa, adalah sebuah cita-cita yang jelita dan menggetarkan. Sangat layak dikerjakan, dan tentu saja dibiasakan. []