Seorang suami, sebagai kepala rumah tangga, wajib mengatur dan mengarahkan keluarganya pada jalan kebenaran. Peran sebagai pemimpin berada di tangannya. Dan sebagai pemimpin, selain mengarahkan pada jalan kebenaran, ia pun wajib memberikan kesejahteraan. Maka, dalam Islam, yang wajib memberikan nafkah ialah suami.
Pemberian nafkah ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sehingga, kesejahteraan bisa tercapai. Hanya saja, dalam kondisi-kondisi tertentu, bisa saja kewajiban memberi nafkah itu terhenti. Pada kondisi apa sajakah itu?
1. Nafkah terhadap istri dihentikan jika istri membangkang, atau tidak mengizinkan suami menggaulinya. Karena nafkah adalah konpensasi menikmatinya. Jadi jika suami tidak dapat menikmatinya, maka otomatis nafkah terhadapnya menjadi terhenti.
2. Nafkah terhadap wanita yang ditalak dengan talak raj’i dihentikan jika masa iddahnya telah habis. Karena dengan selesainya wanita tersebut menjalani masa iddah, maka ia menjadi orang lain bagi suaminya.
3. Nafkah terhadap wanita hamil dihentikan jika ia telah melahirkan bayinya, namun jika menyusui anaknya, maka ia berhak mendapatkan upah atas susuannya. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kalian dengan baik,” (QS. Ath-Thalaq: 6).
4. Nafkah terhadap orangtua dihentikan jika orangtuanya telah kaya, atau ia (anaknya) jatuh miskin dalam arti tidak mempunyai sisa uang dari makanan sehari-harinya. Karena Allah Ta’ala tidak membebani seseorang kecuali dengan apa yang Dia berikan kepadanya.
5. Nafkah terhadap anak laki-laki dihentikan jika telah baligh dan nafkah terhadap anak perempuan dihentikan jika telah menikah. Namun, dikecualikan jika anak laki-laki yang telah baligh itu menderita sakit atau gila, maka nafkah terhadapnya tetap menjadi tanggungan ayahnya. []
Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah